Jumat, 14 Desember 2012

Tugas Analisis Kebijakan dan Isu Perumahsakitan : "KAJIAN TERHADAP PASAL 16 (Peralatan) dan Pasal 17 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT "


BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN

1.1  Masalah Dasar

Latar belakang umum lahirnya UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah karena beberapa pertimbangan tentang pentingnya pembentukan sebuah undang-undang baru dari pihak-pihak yang menjadi aktor dari perumusan dan pembentukan undang-undang. Pertimbangan-pertimbangan  tersebut, antara lain bahwa, pertama pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Kedua, bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Ketiga, bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit dengan Undang-Undang.
Keempat, bahwa pengaturan mengenai rumah sakit belum cukup memadai untuk dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Kelima, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut serta untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan Rumah Sakit, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Rumah Sakit.
Selain itu, secara historis, lahirnya undang-undang ini adalah karena adanya usulan dari Komisi IX DPR periode 2004-2009 agar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), bersama undang-undang lain yang diprioritaskan untuk dibahas saat itu. Menurut penuturan dari Ketua Komisi IX ketika itu, Dr. Gunawan Slamet SpB, bahwa dengan melihat rumah sakit yang memang banyak bermasalah, misalnya pasien ditolak atau disandera, sehingga tidak cukup diatasi atau diminimalisir kejadian kasus ini dengan regulasi yang sifatnya hanya sekelas keputusan menteri. Sehingga saat itu, Komisi IX berusaha untuk membuatkan sebuah regulasi kuat untuk rumah sakit.
Selain itu, menurut Menkes yang menjabat saat itu, bahwa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, globalisasi, desentralisasi, serta tuntutan masyarakat akan keterbukaan dan pelayanan kesehatan yang bermutu mengakibatkan semakin kompleksnya pengelolaan rumah sakit. Ditambah, kecenderungan rumah sakit lebih ke arah komersialisasi telah menimbulkan persaingan yang tidak sehat, rendahnya mutu pelayanan, dan munculnya berbagai kasus gugatan karena adanya dugaan kelalaian dan kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Dan belum memadainya landasan hukum penyelenggaraan rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat. Sehingga UU RS, yang masih berupa RUU saat itu, sangat mendesak disahkan guna melindungi hak-hak pasien, masyarakat dan pengelola rumah sakit.
Seiring dengan pembahasan RUU rumah sakit di dalam parlemen, kasus-kasus yang melibatkan rumah sakit masih bermunculan di luar parlemen. Bukan sekadar penolakan atau penyanderaan pasien atau dugaan malpraktik. Namun kasusnya sudah lebih "berat". Misalnya upaya pemerintah daerah DKI Jakarta "menswastakan" 4 RSUD miliknya dengan mengubahnya menjadi Perseroan Terbatas, yang tentu saja lebih berorientasi kepada profit dan menomerduakan sisi sosialnya. Kasus ini sempat ramai, namun pemerintah daerah DKI Jakarta tak bergeming. Dan kasus yang paling fenomenal dan merupakan salah satu faktor pendorong disahkannya undang-undang Rumah Sakit ini adalah kasus gugatan rumah sakit Omni Internasional kepada Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui email. Tindakan ini dianggap mencemarkan nama baik dan pelaku yang merupakan ibu dua anak inipun sempat mendekam di bui selama 21 hari.
Terkait kasus Prita saat itu, isu yang menjadi wacana utama dalam pembahasan undang-undang ini adalah tentang perlindungan dan keselamatan pasien. Hal ini sebenarnya telah diatur sebelumnya dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan 2009. Semua UU ini memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien dan kepastian hukum. UU rumah sakit ini sebenarnya dibuat karena ada ketidakseimbangan antara pasien dengan rumah sakit. Kedudukan pasien sangat lemah. Pasien sangat tergantung pada dokter atau tenaga medis lainnya. Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara si pemberi layanan kesehatan dengan penggunanya.
Beberapa pihak lain yang turut serta dandilibatkan dalam perumusan UU ini sebagai pihak yang memebrikan masukan bagi pansus saat itu adalah perwakilan dari fakultas kedokteran, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), Assosiasi Rumah Sakit Daerah (Arsada), Ikatan Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (IRPI), berbagai perhimpunan profesi dokter spesialis yang bernaung di Ikatan Dokter Indonesia (IDI), pakar pengamat rumah sakit, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan stakeholder yang terkait lainnya. Sedangkan orang-orang yang menjadi tim pengkaji saat itu adalah PB IDI yang diketuai oleh Sekjen PB IDI ketika itu, yaitu Dr.Zaenal Abidin, serta dengan menghimpun pendapat dari beberapa ahli hukum, seperti Soehino, A.Hamid S.Attamimi yang dikuti Maria Farida Indrati Soeprapto, Bagir Manan dan Kuntana Magnar
Lahirnya undang-undang rumah sakit, menurut sejumlah pengamat, bisa dikatakan akan membawa harapan baru bagi pasien. Materi UU yang telah disahkan pada tanggal 28 Oktober 2009 ini akan lebih menjamin hak pasien dalam mendapatkan pelayanan rumah sakit. Tak hanya melindungi pasien, tetapi juga memberikan perlindungan kepada rumah sakit dan petugas yang bekerja di institusi tersebut.
Selain itu, yang ingin ditekankan adalah bahwa rumah sakit harus diselenggarakan berdasarkan asas Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta memiliki fungsi sosial.
Terkait wacana utama tentang “Perlindungan dan Keselamatan Pasien” yang diangkat dalam penyusunan undang-undang ini serta dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam bagian pertimbangan undang-undang ini, maka adalah hal yang penting ketika isi dalam undang-undang ini membahas tentang peralatan (pasal 16) dan akibat bagi rumah sakit jika tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah tercantum dalam Bab V pasal 7-16 (pasal 17).
Hal ini dikarenakan, untuk meningkatkan mutu dan meminimalisir terjadinya kasus kesalahan pelayanan terhadap pasien, peralatan harus distandarisasi agar memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai. Kasus-kasus yang terjadi pada pasien bukan hanya dikarenakan human error dari petugas pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, namun juga dikarenakan oleh peralatan-peralatan yang tidak terstandarisasi dan tidak layak pakai.

1.2  Tujuan yang Ingin Dicapai

Tujuan yang ingin dicapai dari dimasukkannya pembahasan tentang persyaratan peralatan (pasal 16) dan akibat bagi rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan (pasal 17) dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit; meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan rumah sakit.

1.3  Substansi Kebijakan (Isu Utama)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa isu utama yang menjadi substansi dari kebijakan ini adalah tentang perlindungan dan keselamatan pasien. Sehingga, kasus Prita dan Rumah Sakit Omni Internasional menjadi pendorong disahkannya UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ini.
Terkait perlindungan dan keselamatan pasien yang menjadi isu utama yang dijadikan wacana, isu-isu seputar kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, serta fungsi sosial rumah sakit juga dikembangkan sebagai substansi dan nilai dasar dari kebijakan ini.
Isu lain yang menjadi substansi pasal 16 dan pasal 17 dalam UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ini adalah seputar peralatan (baik medis maupun non medis) dan persyaratan rumah sakit lainnya yang harus distandarisasi agar memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai juga turut diangkat untuk meningkatkan mutu dan meminimalisir terjadinya kasus kesalahan pelayanan terhadap pasien.

1.4  Ciri Kebijakan
Sebagaimana ciri, sifat, dan kriteria kebijakan yang dikemukan oleh  Anderson & Brady (1983), pasal 16 dan pasal 17 dalam UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit memiliki ciri dan karakter sebagai berikut:
Pasal-pasal ini merupakan kebijakan yang berfungsi untuk mengatur dan mendistribusikan tentang persyaratan sebuah rumah sakit, khususnya terkait persyaratan peralatan dan konsekuensi tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operasional bagi Rumah Sakit yang tidak memenuhi persyaratan yang ada.
  •  Memiliki tujuan yang ingin dicapai (telah dipaparkan sebelumnya).
  •  Tidak berdiri sendiri atau terpisahkan dari kebijakan lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan masyarakat, berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi, dan penegak hukum. Sehingga seharusnya terdapat aturan turunan dari pasal-pasal ini atau ada peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi bahan rujukan sebagai pedoman pelaksanaannya di lapangan, khususnya untuk ketentuan mengenai pengujian dan/atau kalibrasi peralatan medis, standar yang berkaitan dengan keamanan, mutu, dan manfaat.
  • Kebijakan pada pasal 16 dan pasal 17 berbentuk positif (pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan).
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pasal 16 dan 17 dalam UU No 44 Tahun 2009 ini adalah pendekatan empiris dan  pendekatan normatif. Pendekatan empiris (fakta) digunakan, karena memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu apakah sesuatu itu ada (menyangkut fakta). Pendekatan ini menekankan penjelasan sebab akibat dari kebijakan publik tentang Rumah Sakit, khususnya tentang persyaratan peralatan pada pasal 16 dan konsekuensi jika tidak memenuhi persyaratan tersebut pada pasal 17.
Sedangkan pendekatan normatif (anjuran) digunakan untuk melihat tindakan apa yang seharusnya dilakukan sebagai rekomendasi agar permasalahan dalam pasal-pasal yang menjadi kebijakan tentang rumah sakit ini dapat dipecahkan. Sehingga, pendekatan modus anjuran, dapat menghasilkan informasi dan argumen dengan memanfaatkan seluruh (6) jenjang metode analisis, yaitu perumusan masalah, peliputan, peramalan, evaluasi, rekomendasi, dan peyimpulan praktis.
Oleh karena itu, dari pendekatan empiris yang digunakan, ditemukan bahwa pasal 16 dan pasal 17 masih bermasalah. Dalam pasal 16, dikatakan bahwa ketentuan mengenai pengujian dan/atau kalibrasi peralatan medis, standar yang berkaitan dengan keamanan, mutu, dan manfaat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun tidak jelas apakah peraturan turunan tersebut dikembalikan kepada daerah masing-masing atau ditetapkan oleh keputusan menteri kesehatan.
Selain itu, penjelasan pada pasal 16 tentang persyaratan peralatan yang dijelaskan dengan rinci seakan-akan terkesan mengundang-undangkan sebuah peraturan menteri kesehatan atau peraturan pemerintah. Dan anehnya, ketika pasal ini telah dijelaskan dengan rinci, point akhir pasal masih menginginkan pengaturan lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Selanjutnya yang menjadi masalah adalah ketentuan pasal 16 ini bersifat administratif. Namun, dalam pasal-pasal selanjutnya yang menjelaskan tentang sanksi, dikatakan bahwa sanksi yang diberikan untuk pelanggaran pasal ini adalah sanksi pidana. Sehingga, yang turut menjadi permasalahan kemudian adalah bagaimana kita dapat mencantumkan sanksi pidana terhadap pasal ini, apabila ketentuannya bersifat administratif dan pengaturan lebih lanjut terhadap pasal-pasal tersebut dilimpahkan kepada Peraturan Perundang-undangan (lainnya), Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Menteri.
Sedangkan untuk pasal 17, jika dilihat perkembangan kedepannya, mengingat syarat sarana yang harus dimiliki rumah sakit, bila syarat tersebut belum bisa dipenuhi apakah perencanaan pembangunan rumah sakit-rumah sakit di Indonesia yang semakin berkembang pesat masih layak diwujudkan? Dan tentunya akan banyak mengundang resistensi dari rumah sakit - rumah sakit yang belum siap, baik secara SDM, biaya, peralatan, maupun regulasi yang mendukung UU tentang Rumah Sakit ini.


BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI

2.1  Perilaku yang Muncul

Berdasarkan pasal 16 dan 17 Undang-Undang No 44 Tahun 2009, perilaku positif yang dapat muncul yaitu, setiap pembangunan dan pengembangan sebuah rumah sakit akan mulai lebih memperhatikan dan mengupayakan kesehatan dan keselamatan pasien dan tenaga kesehatan di rumah sakit melalui persyaratan peralatan yang meliputi peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai melalui pengujian kalibrasi, pengawasan, penggunaan peralatan sesuai indikasi, serta pengoperasian dan pemeliharaan oleh tenaga yang kompeten dan didokumentasikan agar izin mendirikan rumah sakit diberikan atau tidak adanya pencabutan izin operasional rumah sakit.
Selain itu ada jaminan kelayakan dan terstandarisasinya peralatan bagi pihak pihak yang terlibat dalam suatu proses operasional sebuah rumah sakit (pasien, RS dan tenaga kesehatan), sehingga memberi rasa aman dan nyaman dalam proses penyelenggaraannya.
Perilaku negatif yang biasanya muncul ialah berbagai bentuk resistensi dari pihak-pihak yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pembuatan undang-undang ini atau pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya undang-undang tersebut.

2.2  Resistensi

Resistensi dapat diartikan sebagai sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, dan menentang. Dalam perjalanannya, ketika awal-awal penggodokan UU ini, banyak terjadi resistensi dari berbagai pihak, dengan alasan bahwa :
  • Materi muatan RUU Rumah Sakit belum atau kurang mencerminkan keberpihakan kepada rakyat.
  • RUU Rumah Sakit belum mengakomodir kepentingan dokter dan tenaga kesehatan lain sebagai partisipan utama di Rumah Sakit.
  • RUU Rumah Sakit terkesan terburu-buru dan mengesampingkan asas keterbukaan (transparansi) yang secara optimal mengajak seluruh lapisan masyarakat/stake holder atau pihak-pihak terkait untuk ikut terlibat mulai saat perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasannya. Ketentuan mengenai tranparansi ini disebutkan secara implisit dalam Pasal 54 UU No.10/2004: "Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan daerah".
  • Pengaturan Rumah Sakit dengan UU tersendiri tidak tegas diperintahkan oleh UUD 1945 dan UU yang lain (Pasal 8 UU No.10/2004).
  • Permintaan agar pembahasannya ditunda dulu sampai selesainya amandemen UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang sekaligus nantinya akan menjadi UU "Payung" serta materi muatan RUU Rumah Sakit sudah siap untuk diajukan menjadi materi muatan sebagaimana seharusnya materi muatan sebuah UU. Penundaan ini juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya ketidaksesuaian antara satu dengan yang lainnya. Tentu saja semua mahfum bahwa pemaksaan pengaturan dalam suatu Undang-undang "dapat saja terjadi" namun dapat berakibat diperlukannya biaya yang sangat mahal karena dalam pembahasannya di DPR memerlukan biaya yang tidak sedikit, belum lagi bila dalam praktik implementasinya tidak dapat optimal.
  • Pasal 16 dalam UU ini terlalu dijabarkan secara teknis, sehingga terkesan seperti peraturan menkes atau peraturan pemerintah yang diundang-undangkan.
Secara umum, pasal 16 dan 17 telah diatur untuk dapat menjadi acuan dan faktor pendorong agar sebuah rumah sakit dapat memberikan jaminan mutu, keselamatan dan profesionalitas dengan memperhatikan peralatan  mendukung dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Namun, ketika dikaitkan dengan kondisi khusus, seperti ketidaksiapan rumah sakit, baik dari segi biaya maupun tenaga yang kompeten, maka bisa jadi akan menimbulkan resistensi di kemudian hari dan menjadi masalah baru sebagai akibat dari pelaksanaan UU RS ini dan tentunya akan berdampak negatif bagi kinerja pelayanan rumah sakit dan keselamatan serta kepuasan pasien.

2.3  Masalah Baru yang Timbul

Masalah baru yang mungkin dapat timbul dengan adanya pasal 16 dan pasal 17 ini adalah dari pihak-pihak yang resisten. Keresistensian ini bisa jadi dalam berupa ada rumah sakit yang tidak atau belum dapat menyesuaikan peralatannya dengan standar persyaratan yang telah ditentukan dan ditetapkan (pasal 16), karena terkendala kondisi khusus, seperti kondisi keuangan rumah sakit maupun tenaga yang kompeten.
Ketika akan dibenturkan dengan pasal 17 tentang pencabutan izin operasional atau tidak diberikannya izin mendirikan rumah sakit, maka masalah lain yang muncul adalah kemungkinan akan “pemakluman” dan “pembijaksanaan-pembijaksanaan” yang sifatnya negatif dari pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan sendiri tanpa mempertimbangkan dampak negatif dari “pemakluman” dan “pembijaksanaan-pembijaksanaan” ini terhadap keselamatan dan kepuasan pasien yang menjadi isu utama diusungnya kebijakan tentang rumah sakit ini.

  
BAB III
PREDIKSI

3.1  Prediksi Trade Off

Sudah menjadi kerancuan sejak dulu, bahwa apapun produk peraturan yang berkenaaan dengan kesehatan, semestinya mengacu atau berpedoman pada Sistem Kesehatan Nasional. Tapi sebagaimana diketahui, bahwa secara hierarki peraturan perundang-undangan, Sistem Kesehatan Nasional (SKN) kita malah berada pada tataran kebijakan setingkat Menteri, jauh di bawah Undang Undang yang seharusnya ditetapkan oleh DPR. Tidak seperti di Indonesia, di negara-negara yang telah maju bidang kesehatannya, seperti di Amerika Serikat dan di Singapura, semua produk kebijakan di bidang kesehatan mengacu pada satu sistem, yakni sistem yang sudah disepakati secara nasional, sehingga produk kebijakan yang dibuat menjadi terintegrasi dan sistematis. Sehingga, Undang Undang tentang Rumah Sakit ini menjadi rancu karena sama sekali tidak terungkap secara eksplisit tentang Sistem Kesehatan Nasional Indonesia.
Bukti lain dari tidak terintegrasinya kebijakan ini adalah, dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2009 ini juga sama sekali tidak menyebutkan kaitannya dengan Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 yang telah diberlakukan sebelumnya. Padahal seperti diketahui bahwa rumah sakit tidak dapat dipisahkan dari bidang kesehatan.
Kerancuan ini bisa jadi akan menjadi masalah yang menjadikan pengimplementasian undang-undang ini sebagai produk kebijakan kesehatan yang gagal dan tidak sesuai dengan harapan sebelumnya.
Menurut teori, implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ada ketidaktetapan atau ketidaktegasan intern maupun ekstern atas kebijakan itu sendiri, sehingga menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu. Kerancuan dan ketidaktegasan sanksi yang diberikan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, menyebabkan pasal 16 dan 17 ini memiliki kemungkinan untuk gagal dalam pengimplementasiannya.
Selain itu, sosialisasi dan informasi tentang kebijakan yang kurang optimal dilakukan menyebabkan masih banyak pihak yang tidak mengetahui hal ini, sehingga berdampak pada kurangnya dukungan dan resistensi yang bisa saja muncul di kemudian hari.

3.2  Prediksi Keberhasilan

Ripley dan Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga faktor, yaitu kepatuhan, kelancaran rutinitas, dan memberikan manfaat sesuai dengan yang diharapkan.
Perspektif kepatuhan (compliance) mengukur implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats. Pasal 16 Undang-Undang No 44 Tahun 2009 memiliki potensi keberhasilan jika ada kepatuhan terhadap Undang-Undang ini sendiri. Kepatuhan ini dapat dilihat dengan pemenuhan persyaratan peralatan sesuai dengan yang ditetapkan pada pasal tersebut.
Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. Kelancaran peristiwa dan tiadanya persolan, sejauh ini Undang-Undang RS ini sudah berjalan lancar selama kurang lebih 3 tahun namun masih ada persoalan yang timbul mengenai pelanggaran hak pasien dan pelanggaran pemenuhan kewajiban rumah sakit, seperti penggunaan peralatan medis maupun nonmedis yang tidak sesuai dnegan indikasi dan SDM yang tidak kompeten dalma mengoperasikan dan memelihara alat yang ada.
Implementasi yang berhasil tentunya mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. Sejauh ini, kebijakan ini telah memberi kepuasan terhadap beberapa pihak (seperti tenaga kesehatan), namun tetap memerlukan evaluasi lebih lanjut. Karena, selain dapat berhasil jika ada kepatuhan, adanya penyebaran informasi yang merata serta adanya dukungan dari semua pihak juga dapat memberikan kontribusi bagi keberhasilan pengimplementasian undang-undang tentang rumah sakit ini. Oleh karena itu, perencanaan, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan harus melibatkan semua pihak dan bertujuan mengutamakan kepentingan bersama (orang banyak dan semua pihak), bukan kepentingan sekelompok “elite” tertentu.
     
BAB IV
KESIMPULANDAN REKOMENDASI

4.1  Kesimpulan

Pasal 16 menjelaskan tentang persyaratan peralatan yang dijadikan sebagai acuan agar sebuah rumah sakit dapat diberikan izin untuk mendirikan atau memperpanjang izin operasionalnya sebagaimana termuat di dalam pasal 17. Persyaratan peralatan yang dimaksud meliputi peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai melalui pengujian kalibrasi; pengawasan, penggunaan peralatan sesuai indikasi; serta pengoperasian dan pemeliharaan oleh tenaga yang kompeten dan didokumentasikan agar izin mendirikan rumah sakit diberikan atau tidak adanya pencabutan izin operasional rumah sakit.
Tujuan dari dimasukkannya pasal 16 dan 17, yaitu memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit; meningkatkan mutu peralatan dan mempertahankan standar pelayanan peralatan rumah sakit; serta memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan rumah sakit terkait penyalahgunaan alat dan proses operasionalnya.
Kebijakan pada pasal 16 dan 17 yang bersifat mengatur ini masih memiliki beberapa masalah terkait penjelasannya yang disajikan secara rinci, sehingga terkesan sebagai peraturan menkes atau peraturan pemerintah yang diundang-undangkan serta beberapa perilaku resisten yang berpotensi untuk muncul. Sehingga, keberhasilan dari pasal ini dapat terwujud apabila ada sosialisasi yang optimal tentang kebijakan ini dan adanya kerjasama dari sektor-sektor terkait, sehingga penyelanggaraan Rumah Sakit tidak menimbulkan permasalahan bagi keselamatan dan kepuasan pasien, SDM rumah sakit, rumah sakit dan lingkungan.

4.2  Rekomendasi

Berdasarkan prediksi masalah dan kondisi “trade off” yang akan timbul dan  prediksi keberhasilan pada UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ini, maka rekomendasi yang dapat diberikan antara lain:
  • Diperlukan pemahaman dan penjelasan mengenai pasal-pasal yang ada, sehingga sinkron dan tidak merugikan salah satu pihak di kemudian hari.
  • Rumah Sakit sebaiknya mensosialisasikan kebijakan ini kepada masyarakat, sebagai media dan sumber informasi dan edukasi bagi masyarakat tersebut.
  • Sebagai mahasiswa atau bagi institusi pendidikan yang berfokus pada pendidikan tentang kesehatan, sebaiknya turut serta membantu mensosialisasikan kebijakan ini kepada masyarakat ketika melakukan pembelajaran di lapangan, seperti KKN atau PBL (Praktek Belajar Lapangan). Hal ini akan membantu timbulnya pengetahuan, pemahaman dan pola pikir yang baru pada masyarakat tentang sistem kesehatan di Indonesia, khususnya tentang kewajiban rumah sakit dan hak-haknya sebagai pasien.