BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN
1.1
Masalah Dasar
Latar belakang umum lahirnya UU No 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah karena beberapa pertimbangan tentang
pentingnya pembentukan sebuah undang-undang baru dari pihak-pihak yang menjadi
aktor dari perumusan dan pembentukan undang-undang. Pertimbangan-pertimbangan tersebut, antara lain bahwa, pertama pelayanan kesehatan merupakan
hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
Kedua,
bahwa
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan
karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan
kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus
tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Ketiga,
bahwa
dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan
hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu
mengatur Rumah Sakit dengan Undang-Undang.
Keempat,
bahwa
pengaturan mengenai rumah sakit belum cukup memadai untuk dijadikan landasan hukum
dalam penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi
masyarakat.
Kelima,
bahwa
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut serta untuk memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat dan Rumah Sakit, perlu
membentuk Undang-Undang
tentang Rumah Sakit.
Selain
itu, secara historis, lahirnya undang-undang ini adalah karena adanya usulan
dari Komisi IX DPR periode 2004-2009 agar masuk Program Legislasi Nasional
(Prolegnas), bersama undang-undang lain yang diprioritaskan untuk dibahas saat
itu. Menurut penuturan dari Ketua Komisi IX ketika itu, Dr. Gunawan Slamet SpB,
bahwa dengan melihat rumah sakit yang memang banyak bermasalah, misalnya pasien
ditolak atau disandera, sehingga tidak cukup diatasi atau diminimalisir
kejadian kasus ini dengan regulasi yang sifatnya hanya sekelas keputusan menteri.
Sehingga saat itu, Komisi IX berusaha untuk membuatkan sebuah regulasi kuat
untuk rumah sakit.
Selain
itu, menurut Menkes yang menjabat saat itu, bahwa pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran, globalisasi, desentralisasi, serta tuntutan
masyarakat akan keterbukaan dan pelayanan kesehatan yang bermutu mengakibatkan
semakin kompleksnya pengelolaan rumah sakit. Ditambah, kecenderungan rumah
sakit lebih ke arah komersialisasi telah menimbulkan persaingan yang tidak
sehat, rendahnya mutu pelayanan, dan munculnya berbagai kasus gugatan karena
adanya dugaan kelalaian dan kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit. Dan belum memadainya landasan hukum penyelenggaraan rumah sakit
sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat. Sehingga UU RS, yang masih
berupa RUU saat itu, sangat mendesak disahkan guna melindungi hak-hak pasien,
masyarakat dan pengelola rumah sakit.
Seiring
dengan pembahasan RUU rumah sakit di dalam parlemen, kasus-kasus yang
melibatkan rumah sakit masih bermunculan di luar parlemen. Bukan sekadar
penolakan atau penyanderaan pasien atau dugaan malpraktik. Namun kasusnya sudah
lebih "berat". Misalnya upaya pemerintah daerah DKI Jakarta
"menswastakan" 4 RSUD miliknya dengan mengubahnya menjadi Perseroan
Terbatas, yang tentu saja lebih berorientasi kepada profit dan menomerduakan
sisi sosialnya. Kasus ini sempat ramai, namun pemerintah daerah DKI Jakarta tak
bergeming. Dan kasus yang paling fenomenal dan merupakan salah satu faktor
pendorong disahkannya undang-undang Rumah Sakit ini adalah kasus gugatan rumah
sakit Omni Internasional kepada Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan
rumah sakit tersebut melalui email. Tindakan ini dianggap mencemarkan nama baik
dan pelaku yang merupakan ibu dua anak inipun sempat mendekam di bui selama 21
hari.
Terkait
kasus Prita saat itu, isu yang menjadi wacana utama dalam pembahasan
undang-undang ini adalah tentang perlindungan dan keselamatan pasien. Hal ini
sebenarnya telah diatur sebelumnya dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan
2009. Semua UU ini memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien dan
kepastian hukum. UU rumah sakit ini sebenarnya dibuat karena ada
ketidakseimbangan antara pasien dengan rumah sakit. Kedudukan pasien sangat
lemah. Pasien sangat tergantung pada dokter atau tenaga medis lainnya.
Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara si pemberi
layanan kesehatan dengan penggunanya.
Beberapa
pihak lain yang turut serta dandilibatkan dalam perumusan UU ini sebagai pihak
yang memebrikan masukan bagi pansus saat itu adalah perwakilan dari fakultas
kedokteran, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), Assosiasi Rumah Sakit
Daerah (Arsada), Ikatan Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (IRPI), berbagai
perhimpunan profesi dokter spesialis yang bernaung di Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), pakar pengamat rumah sakit, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
dan stakeholder yang terkait lainnya. Sedangkan orang-orang yang menjadi tim
pengkaji saat itu adalah PB IDI yang diketuai oleh Sekjen PB IDI ketika itu,
yaitu Dr.Zaenal Abidin, serta dengan menghimpun pendapat dari beberapa ahli
hukum, seperti Soehino, A.Hamid S.Attamimi yang dikuti Maria Farida Indrati
Soeprapto, Bagir Manan dan Kuntana Magnar
Lahirnya
undang-undang rumah sakit, menurut sejumlah pengamat, bisa dikatakan akan
membawa harapan baru bagi pasien. Materi UU yang telah disahkan pada tanggal 28
Oktober 2009 ini akan lebih menjamin hak pasien dalam mendapatkan pelayanan
rumah sakit. Tak hanya melindungi pasien, tetapi juga memberikan perlindungan
kepada rumah sakit dan petugas yang bekerja di institusi tersebut.
Selain
itu, yang ingin ditekankan adalah bahwa rumah sakit harus diselenggarakan
berdasarkan asas Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi,
pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta memiliki fungsi sosial.
Terkait
wacana utama tentang “Perlindungan dan Keselamatan Pasien” yang diangkat dalam
penyusunan undang-undang ini serta dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan
pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam bagian pertimbangan
undang-undang ini, maka adalah hal yang penting ketika isi dalam undang-undang
ini membahas tentang peralatan (pasal 16) dan akibat bagi rumah sakit jika
tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah tercantum dalam Bab V pasal
7-16 (pasal 17).
Hal
ini dikarenakan, untuk meningkatkan mutu dan meminimalisir terjadinya kasus
kesalahan pelayanan terhadap pasien, peralatan harus distandarisasi agar memenuhi
standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai.
Kasus-kasus yang terjadi pada pasien bukan hanya dikarenakan human error dari petugas pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit, namun juga dikarenakan oleh peralatan-peralatan yang
tidak terstandarisasi dan tidak layak pakai.
1.2
Tujuan yang Ingin Dicapai
Tujuan yang ingin dicapai dari dimasukkannya
pembahasan tentang persyaratan peralatan (pasal 16) dan akibat bagi rumah sakit
yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan (pasal 17) dalam Undang-Undang
No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah memberikan perlindungan terhadap
keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia
di rumah sakit; meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah
sakit; dan memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya
manusia rumah sakit, dan rumah sakit.
1.3
Substansi Kebijakan (Isu Utama)
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa isu
utama yang menjadi substansi dari kebijakan ini adalah tentang perlindungan dan
keselamatan pasien. Sehingga, kasus Prita dan Rumah Sakit Omni Internasional
menjadi pendorong disahkannya UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ini.
Terkait perlindungan dan keselamatan pasien yang
menjadi isu utama yang dijadikan wacana, isu-isu seputar kemanusiaan,
etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti
diskriminasi, pemerataan, serta fungsi sosial rumah sakit juga dikembangkan
sebagai substansi dan nilai dasar dari kebijakan ini.
Isu
lain yang menjadi substansi pasal 16 dan pasal 17 dalam UU No 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit ini adalah seputar peralatan (baik medis maupun non medis)
dan persyaratan rumah sakit lainnya yang harus distandarisasi agar memenuhi
standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai juga
turut diangkat untuk meningkatkan mutu dan meminimalisir terjadinya kasus
kesalahan pelayanan terhadap pasien.
1.4
Ciri Kebijakan
Sebagaimana ciri, sifat, dan kriteria kebijakan yang
dikemukan oleh Anderson
& Brady (1983), pasal 16 dan
pasal 17 dalam UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit memiliki ciri dan
karakter sebagai berikut:
Pasal-pasal ini
merupakan kebijakan yang berfungsi untuk mengatur dan mendistribusikan tentang
persyaratan sebuah rumah sakit, khususnya terkait persyaratan peralatan dan
konsekuensi tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak
diperpanjang izin operasional bagi Rumah Sakit yang tidak memenuhi persyaratan
yang ada.
- Memiliki tujuan yang ingin dicapai (telah dipaparkan sebelumnya).
- Tidak berdiri sendiri atau terpisahkan dari kebijakan lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan masyarakat, berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi, dan penegak hukum. Sehingga seharusnya terdapat aturan turunan dari pasal-pasal ini atau ada peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi bahan rujukan sebagai pedoman pelaksanaannya di lapangan, khususnya untuk ketentuan mengenai pengujian dan/atau kalibrasi peralatan medis, standar yang berkaitan dengan keamanan, mutu, dan manfaat.
- Kebijakan pada pasal 16 dan pasal 17 berbentuk positif (pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan).
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pasal
16 dan 17 dalam UU No 44 Tahun 2009 ini adalah pendekatan empiris dan pendekatan normatif. Pendekatan empiris
(fakta) digunakan, karena memusatkan perhatian pada masalah pokok, yaitu apakah
sesuatu itu ada (menyangkut fakta). Pendekatan ini menekankan penjelasan sebab
akibat dari kebijakan publik tentang Rumah Sakit, khususnya tentang persyaratan
peralatan pada pasal 16 dan konsekuensi jika tidak memenuhi persyaratan
tersebut pada pasal 17.
Sedangkan pendekatan normatif (anjuran) digunakan
untuk melihat tindakan apa yang seharusnya dilakukan sebagai rekomendasi agar
permasalahan dalam pasal-pasal yang menjadi kebijakan tentang rumah sakit ini
dapat dipecahkan. Sehingga, pendekatan modus anjuran, dapat menghasilkan
informasi dan argumen dengan memanfaatkan seluruh (6) jenjang metode analisis,
yaitu perumusan masalah, peliputan, peramalan, evaluasi, rekomendasi, dan
peyimpulan praktis.
Oleh karena itu, dari pendekatan empiris yang
digunakan, ditemukan bahwa pasal 16 dan pasal 17 masih bermasalah. Dalam pasal
16, dikatakan bahwa ketentuan mengenai pengujian dan/atau
kalibrasi peralatan
medis, standar yang berkaitan dengan
keamanan,
mutu, dan manfaat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Namun tidak jelas apakah peraturan turunan tersebut
dikembalikan kepada daerah masing-masing atau ditetapkan oleh keputusan menteri
kesehatan.
Selain
itu, penjelasan pada pasal 16 tentang persyaratan peralatan yang dijelaskan
dengan rinci seakan-akan terkesan mengundang-undangkan sebuah peraturan menteri
kesehatan atau peraturan pemerintah. Dan anehnya, ketika pasal ini telah
dijelaskan dengan rinci, point akhir pasal masih menginginkan pengaturan lebih
lanjut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Selanjutnya
yang menjadi masalah adalah ketentuan pasal 16 ini bersifat administratif.
Namun, dalam pasal-pasal selanjutnya yang menjelaskan tentang sanksi, dikatakan
bahwa sanksi yang diberikan untuk pelanggaran pasal ini adalah sanksi pidana. Sehingga,
yang turut menjadi permasalahan kemudian adalah bagaimana kita dapat
mencantumkan sanksi pidana terhadap pasal ini, apabila ketentuannya bersifat
administratif dan pengaturan lebih lanjut terhadap pasal-pasal tersebut
dilimpahkan kepada Peraturan Perundang-undangan (lainnya), Peraturan
Pemerintah, atau Peraturan Menteri.
Sedangkan
untuk pasal 17, jika dilihat perkembangan kedepannya, mengingat syarat sarana
yang harus dimiliki rumah sakit, bila syarat tersebut belum bisa dipenuhi
apakah perencanaan pembangunan rumah sakit-rumah sakit di Indonesia yang
semakin berkembang pesat masih layak diwujudkan? Dan tentunya akan banyak
mengundang resistensi dari rumah sakit - rumah sakit yang belum siap, baik
secara SDM, biaya, peralatan, maupun regulasi yang mendukung UU tentang Rumah
Sakit ini.
BAB II
KONSEKUENSI DAN
RESISTENSI
2.1
Perilaku yang Muncul
Berdasarkan pasal 16 dan 17
Undang-Undang No 44 Tahun 2009, perilaku positif yang dapat muncul yaitu,
setiap pembangunan dan pengembangan sebuah rumah sakit akan mulai lebih
memperhatikan dan mengupayakan kesehatan dan keselamatan pasien dan tenaga
kesehatan di rumah sakit melalui persyaratan peralatan yang meliputi peralatan
medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu,
keamanan, keselamatan dan layak pakai melalui pengujian kalibrasi, pengawasan,
penggunaan peralatan sesuai indikasi, serta pengoperasian dan pemeliharaan oleh
tenaga yang kompeten dan didokumentasikan agar izin mendirikan rumah sakit
diberikan atau tidak adanya pencabutan izin operasional rumah sakit.
Selain itu ada jaminan kelayakan dan
terstandarisasinya peralatan bagi pihak pihak yang
terlibat dalam suatu proses operasional sebuah rumah sakit (pasien, RS dan
tenaga kesehatan), sehingga memberi rasa aman dan nyaman dalam proses
penyelenggaraannya.
Perilaku
negatif yang biasanya muncul ialah berbagai bentuk resistensi dari pihak-pihak
yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pembuatan undang-undang ini atau
pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya undang-undang tersebut.
2.2
Resistensi
Resistensi dapat diartikan
sebagai sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, dan
menentang. Dalam perjalanannya, ketika awal-awal penggodokan UU ini, banyak
terjadi resistensi dari berbagai pihak, dengan alasan bahwa :
- Materi muatan RUU Rumah Sakit belum atau kurang mencerminkan keberpihakan kepada rakyat.
- RUU Rumah Sakit belum mengakomodir kepentingan dokter dan tenaga kesehatan lain sebagai partisipan utama di Rumah Sakit.
- RUU Rumah Sakit terkesan terburu-buru dan mengesampingkan asas keterbukaan (transparansi) yang secara optimal mengajak seluruh lapisan masyarakat/stake holder atau pihak-pihak terkait untuk ikut terlibat mulai saat perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasannya. Ketentuan mengenai tranparansi ini disebutkan secara implisit dalam Pasal 54 UU No.10/2004: "Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan daerah".
- Pengaturan Rumah Sakit dengan UU tersendiri tidak tegas diperintahkan oleh UUD 1945 dan UU yang lain (Pasal 8 UU No.10/2004).
- Permintaan agar pembahasannya ditunda dulu sampai selesainya amandemen UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang sekaligus nantinya akan menjadi UU "Payung" serta materi muatan RUU Rumah Sakit sudah siap untuk diajukan menjadi materi muatan sebagaimana seharusnya materi muatan sebuah UU. Penundaan ini juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya ketidaksesuaian antara satu dengan yang lainnya. Tentu saja semua mahfum bahwa pemaksaan pengaturan dalam suatu Undang-undang "dapat saja terjadi" namun dapat berakibat diperlukannya biaya yang sangat mahal karena dalam pembahasannya di DPR memerlukan biaya yang tidak sedikit, belum lagi bila dalam praktik implementasinya tidak dapat optimal.
- Pasal 16 dalam UU ini terlalu dijabarkan secara teknis, sehingga terkesan seperti peraturan menkes atau peraturan pemerintah yang diundang-undangkan.
Secara umum, pasal 16 dan 17 telah diatur untuk dapat menjadi acuan dan
faktor pendorong agar sebuah rumah sakit dapat memberikan jaminan mutu,
keselamatan dan profesionalitas dengan memperhatikan peralatan mendukung dan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan. Namun, ketika dikaitkan dengan kondisi khusus, seperti
ketidaksiapan rumah sakit, baik dari segi biaya maupun tenaga yang kompeten,
maka bisa jadi akan menimbulkan resistensi di kemudian hari dan menjadi masalah
baru sebagai akibat dari pelaksanaan UU RS ini dan tentunya akan berdampak
negatif bagi kinerja pelayanan rumah sakit dan keselamatan serta kepuasan
pasien.
2.3
Masalah Baru yang Timbul
Masalah baru yang mungkin dapat timbul
dengan adanya pasal 16 dan pasal 17 ini adalah dari pihak-pihak yang resisten.
Keresistensian ini bisa jadi dalam berupa ada rumah sakit yang tidak atau belum
dapat menyesuaikan peralatannya dengan standar persyaratan yang telah
ditentukan dan ditetapkan (pasal 16), karena terkendala kondisi khusus, seperti
kondisi keuangan rumah sakit maupun tenaga yang kompeten.
Ketika akan dibenturkan dengan pasal 17
tentang pencabutan izin operasional atau tidak diberikannya izin mendirikan
rumah sakit, maka masalah lain yang muncul adalah kemungkinan akan “pemakluman”
dan “pembijaksanaan-pembijaksanaan” yang sifatnya negatif dari pihak-pihak yang
ingin mencari keuntungan sendiri tanpa mempertimbangkan dampak negatif dari
“pemakluman” dan “pembijaksanaan-pembijaksanaan” ini terhadap keselamatan dan
kepuasan pasien yang menjadi isu utama diusungnya kebijakan tentang rumah sakit
ini.
BAB III
PREDIKSI
3.1
Prediksi Trade Off
Sudah menjadi kerancuan sejak dulu,
bahwa apapun produk peraturan yang berkenaaan dengan kesehatan, semestinya
mengacu atau berpedoman pada Sistem Kesehatan Nasional. Tapi sebagaimana
diketahui, bahwa secara hierarki peraturan perundang-undangan, Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) kita malah berada pada tataran kebijakan setingkat Menteri, jauh
di bawah Undang Undang yang seharusnya ditetapkan oleh DPR. Tidak seperti di
Indonesia, di negara-negara yang telah maju bidang kesehatannya, seperti di
Amerika Serikat dan di Singapura, semua produk kebijakan di bidang kesehatan
mengacu pada satu sistem, yakni sistem yang sudah disepakati secara nasional,
sehingga produk kebijakan yang dibuat menjadi terintegrasi dan sistematis. Sehingga,
Undang Undang tentang Rumah Sakit ini menjadi rancu karena sama sekali tidak
terungkap secara eksplisit tentang Sistem Kesehatan Nasional Indonesia.
Bukti lain dari
tidak terintegrasinya kebijakan ini adalah, dalam Undang-Undang No 44
Tahun 2009 ini juga sama sekali tidak menyebutkan kaitannya dengan Undang-Undang
Kesehatan No 36 Tahun 2009 yang telah diberlakukan sebelumnya. Padahal seperti
diketahui bahwa rumah sakit tidak dapat dipisahkan dari bidang kesehatan.
Kerancuan ini
bisa jadi akan menjadi masalah yang menjadikan pengimplementasian undang-undang
ini sebagai produk kebijakan kesehatan yang gagal dan tidak sesuai dengan
harapan sebelumnya.
Menurut
teori, implementasi kebijakan dapat gagal karena masih ada ketidaktetapan atau
ketidaktegasan intern maupun ekstern atas kebijakan itu sendiri, sehingga menunjukan
adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu. Kerancuan dan
ketidaktegasan sanksi yang diberikan, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
menyebabkan pasal 16 dan 17 ini memiliki kemungkinan untuk gagal dalam
pengimplementasiannya.
Selain itu,
sosialisasi dan informasi tentang kebijakan yang kurang optimal dilakukan
menyebabkan masih banyak pihak yang tidak mengetahui hal ini, sehingga
berdampak pada kurangnya dukungan dan resistensi yang bisa saja muncul di
kemudian hari.
3.2
Prediksi Keberhasilan
Ripley dan Franklin dalam bukunya yang
berjudul Birokrasi dan Implementasi Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa
keberhasilan implementasi kebijakan atau program dapat ditujukan dari tiga
faktor, yaitu kepatuhan, kelancaran rutinitas, dan memberikan manfaat sesuai
dengan yang diharapkan.
Perspektif kepatuhan (compliance) mengukur
implementasi dari kepatuhan strect level bereau crats. Pasal
16 Undang-Undang No 44 Tahun 2009 memiliki potensi keberhasilan jika ada
kepatuhan terhadap Undang-Undang ini sendiri. Kepatuhan ini dapat dilihat
dengan pemenuhan persyaratan peralatan sesuai dengan yang ditetapkan pada pasal
tersebut.
Keberhasilan implementasi diukur dari
kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. Kelancaran
peristiwa dan tiadanya persolan, sejauh ini Undang-Undang RS ini sudah berjalan
lancar selama kurang lebih 3 tahun namun masih ada persoalan yang timbul
mengenai pelanggaran hak pasien dan pelanggaran pemenuhan kewajiban rumah
sakit, seperti penggunaan peralatan medis maupun nonmedis yang tidak sesuai
dnegan indikasi dan SDM yang tidak kompeten dalma mengoperasikan dan memelihara
alat yang ada.
Implementasi yang berhasil tentunya mengarah
kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat
yang diharapkan. Sejauh ini, kebijakan ini telah memberi
kepuasan terhadap beberapa pihak (seperti tenaga kesehatan), namun tetap
memerlukan evaluasi lebih lanjut. Karena, selain dapat
berhasil jika ada kepatuhan, adanya penyebaran informasi yang merata serta
adanya dukungan dari semua pihak juga dapat memberikan kontribusi bagi
keberhasilan pengimplementasian undang-undang tentang rumah sakit ini. Oleh
karena itu, perencanaan, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan harus
melibatkan semua pihak dan bertujuan mengutamakan kepentingan bersama (orang
banyak dan semua pihak), bukan kepentingan sekelompok “elite” tertentu.
BAB IV
KESIMPULANDAN
REKOMENDASI
4.1
Kesimpulan
Pasal 16 menjelaskan tentang persyaratan peralatan
yang dijadikan sebagai acuan agar sebuah rumah sakit dapat diberikan izin untuk
mendirikan atau memperpanjang izin operasionalnya sebagaimana termuat di dalam
pasal 17. Persyaratan peralatan yang dimaksud meliputi
peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu,
keamanan, keselamatan dan layak pakai melalui pengujian kalibrasi; pengawasan,
penggunaan peralatan sesuai indikasi; serta pengoperasian dan pemeliharaan oleh
tenaga yang kompeten dan didokumentasikan agar izin mendirikan rumah sakit
diberikan atau tidak adanya pencabutan izin operasional rumah sakit.
Tujuan dari dimasukkannya pasal 16 dan 17, yaitu memberikan
perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit
dan sumber daya manusia di rumah sakit; meningkatkan mutu peralatan dan
mempertahankan standar pelayanan peralatan rumah sakit; serta memberikan
kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan
rumah sakit terkait penyalahgunaan alat dan proses operasionalnya.
Kebijakan pada pasal 16 dan 17 yang bersifat
mengatur ini masih memiliki beberapa masalah terkait penjelasannya yang
disajikan secara rinci, sehingga terkesan sebagai peraturan menkes atau
peraturan pemerintah yang diundang-undangkan serta beberapa perilaku resisten
yang berpotensi untuk muncul. Sehingga, keberhasilan
dari pasal ini dapat terwujud apabila ada sosialisasi yang optimal tentang
kebijakan ini dan adanya kerjasama dari sektor-sektor terkait, sehingga
penyelanggaraan Rumah Sakit tidak menimbulkan permasalahan bagi keselamatan dan
kepuasan pasien, SDM rumah sakit, rumah sakit dan lingkungan.
4.2
Rekomendasi
Berdasarkan prediksi masalah dan kondisi
“trade off” yang akan timbul dan prediksi keberhasilan pada UU No 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit ini, maka rekomendasi yang dapat diberikan antara lain:
- Diperlukan pemahaman dan penjelasan mengenai pasal-pasal yang ada, sehingga sinkron dan tidak merugikan salah satu pihak di kemudian hari.
- Rumah Sakit sebaiknya mensosialisasikan kebijakan ini kepada masyarakat, sebagai media dan sumber informasi dan edukasi bagi masyarakat tersebut.
- Sebagai mahasiswa atau bagi institusi pendidikan yang berfokus pada pendidikan tentang kesehatan, sebaiknya turut serta membantu mensosialisasikan kebijakan ini kepada masyarakat ketika melakukan pembelajaran di lapangan, seperti KKN atau PBL (Praktek Belajar Lapangan). Hal ini akan membantu timbulnya pengetahuan, pemahaman dan pola pikir yang baru pada masyarakat tentang sistem kesehatan di Indonesia, khususnya tentang kewajiban rumah sakit dan hak-haknya sebagai pasien.