Rabu, 21 November 2012

STRUKTUR MODAL



A.  PENDAHULUAN
Salah satu isu paling penting yang dihadapi oleh para manajer keuangan adalah hubungan antara struktur modal dan nilai perusahaan. Menurut Riyanto, struktur modal adalah perimbangan atau perbandingan antara modal asing (jangka panjang) dengan modal sendiri. Sedangkan menurut Sartono, yang dimaksud dengan struktur modal merupakan perimbangan jumlah hutang jangka pendek yang bersifat permanen, hutang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa. Struktur keuangan adalah perimbangan antara hutang dengan modal sendiri. Dengan kata lain struktur modal merupakan bagian dari struktur keuangan.
Dewasa ini, dunia usaha sangat tergantung sekali dengan masalah pendanaan, beberapa pakar sepakat bahwa untuk keluar dari krisis ekonomi ini sektor riil harus digerakkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.Namun demikian, banyak hambatan yang dialami oleh dunia usaha, salah satunya yang sangat krusial adalah masalah pendanaan ini.Dunia usaha mengalami kemunduran yang diakibatkan oleh kemacetan kredit-kredit yang diberikan ke dunia usaha tanpa memperhitungkan batas maksimum pemberian kredit dimasa lalu oleh perbankan dan masalah kelayakan kredit yang disetujui.Oleh karenanya, baik itu pihak manajemen maupun pihak kreditor sudah seharusnya mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah pendanaan ini.Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi evaluasi manajemen, dalam hal ini manajemen rumah sakit secara khusus.
Struktur modal perusahaan merupakan salah satu faktor fundamental dalam operasi perusahaan. Struktur modal suatu perusahaan ditentukan oleh kebijakan pembelanjaan (financing policy) dari manajer keuangan yang senantiasa dihadapkan pada pertimbangan baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang mencakup tiga unsur penting, yaitu keharusan untuk membayar balas jasa atas penggunaan modal kepada pihak yang menyediakan dana tersebut, atau sifat keharusan untuk pembayaran biaya modal; sampai seberapa jauh kewenangan dan campur tangan pihak penyedia dana itu dalam mengelola perusahaan; resiko yang dihadapi perusahaan.
Fungsi keuangan merupakan salah satu fungsi penting bagi perusahaan dalam kegiatan perusahaan. Dalam mengelola fungsi keuangan salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah seberapa besar perusahaan mampu memenuhi kebutuhan dana yang akan digunakan untuk beroperasi dan mengembangkan usahanya. Pemenuhan dana ini bisa bersumber dari dana sendiri, modal saham maupun dengan hutang, baik hutang jangka pendek maupun hutang jangka panjang.
Keputusan pendanaan keuangan perusahaan akan sangat menentukan kemampuan perusahaan dalam melakukan aktivitas operasinya dan juga akan berpengaruh terhadap resiko perusahaan itu sendiri. Jika perusahaan meningkatkan leverage maka perusahaan ini dengan sendirinya akan meningkatkan resiko keuangan perusahaan. Dan sebaliknya perusahaan harus memperhatikan masalah pajak, karena sebagian ahli berpendapat bahwa penggunaan modal yang berlebihan akan menurunkan tingkat profitabilitas. Untuk itu sebagian manajer tidak sepenuhnya mendanai perusahaannya dengan modal tetapi juga disertai penggunaan dana melalui hutang baik itu hutang jangka pendek maupun hutang jangka panjang karena terkait dengan sifat penggunaan dari hutang tersebut yaitu bersifat mengurangi pajak.
Struktur modal optimal sebuah perusahaan adalah kombinasi hutang dan ekuitas yang akan memaksimalkan harga saham. Disetiap waktu, manajemen akan memiliki satu struktur modal sasaran yang spesifik dalam pikirannya yang diasumsikan sebagai sasaran yang optimal, meskipun hal ini dapat berubah dari waktuke waktu.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi struktur modal sebuah perusahaan. Faktor tersebut adalah 1) risiko bisnis atau seberapa berisiko saham perusahaan jika perusahaan tidak menggunakan hutang, 2) risiko keuangan yang merupakan tambahan risiko yang dikenakan pada pemegang saham biasa sebagai akibat dari keputusan perusahaan untuk mempergunakan hutang, 3) posisi perpajakan, 4) kebutuhan akan fleksibelitas keuangan dan 5) konservatisme atau agresivitas manajemen perusahaan.
Sebagaimana suatu industri yang mempunyai struktur fixed cost yang tinggi, rumah sakit menghadapi problem dalam investasi dan pengembangan program. Masalah ini terjadi apabila sumber daya subsidi pemilik/pemodal berkurang,sementara misi rumahsakit menuntut agar dalam memberikan pelayanan, rumah sakit harus melayani masyarakat tanpa membedakan status ekonominya. Akan tetapi, disisi lain kemampuan untuk melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat ekonomi lemah terkadang terhalang oleh sistem birokrasi dan sistem reimbursement dari pemerintah yang kurang cepat. Akibatnya, terjadi berbagai isu ekonomi yang berkaitan dengan tarif rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta.Pada prinsipnya tarif yang ada, cost-recovery-nya tidak memungkinkan rumah sakit pemerintah untuk berkembang.
Kebutuhan untuk berkembang ini semakin tinggi karena persaingan antar rumah sakit semakin besar. Fenomena yang menarik, yaitu adanya rumah sakit yang tidak mampu mengembangkan diri, ibarat seseorang yang masuk lumpur pasir, semakin berusaha akansemakin terpuruk. Jika suatu rumah sakit secara ekonomis tidak menarik bagi stafnya, mutu pelayanan akan semakin turun. Hal ini berakibat menurunnya jumlah pasien atau melayani pasien yang terbatas kemampuan membayar dan tuntutannya.

B. TEORI STRUKTUR MODAL
Beberapa teori struktur modal telah dikembangkan, khususnya untuk menganalisis penggunaan hutang terhadap nilai perusahaan dan biaya modal. Dalam hal ini, Sartono telah mengemukakan tiga teori struktur modal yaitu: pendekatan laba bersih, atau net income (NI) approach, pendekatan laba operasi bersih, atau net operating income (NOI) approach dan pendekatan tradisional.
Pendekatan laba bersih mengasumsikan bahwa investor mengkapitalisasi atau menilai perusahaan dengan tingkat kapitalisasi yang konstan dan perusahaan dapat meningkatkan jumlah hutangnya dengan tingkat biaya hutang yang konstan pula. Karena tingkat kapitalisasi dan tngkat biaya hutang konstan maka semakin besar jumlah hutang yang digunakan perusahaan, biaya modal rata-rata tertimbang akan semakin kecil. Jika biaya modal rata-rata tertimbang semakin kecil sebagai akibat penggunaan hutang semakin besar, maka nilai perusahaan akan meningkat. Nilai perusahaan meningkat jika perusahaan  menggunakan hutang semakin besar.
Pendekatan laba operasi bersih mengasumsikan bahwa investor memiliki reaksi yang berbeda terhadap penggunaan hutang oleh perusahaan. Pendekatan ini melihat bahwa biaya modal rata-rata tertimbang konstan berapapun tingkat hutang yang digunakan oleh perusahaan. Pertama diasumsikan bahwa biaya hutang konstan seperti halnya dalam pendekatan laba bersih.Kedua, penggunaan hutang yang semakin besar oleh pemilik modal sendiri dilihat sebagai peningkatan risiko perusahaan. Oleh karena itu tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik modal sendiri akan meningkat sebagai akibat meningkatnya risiko perusahaan. Konsekuensinya biaya modal rata-rata tertimbang tidak mengalami perubahan dan keputusan struktur modal menjadi tidak penting.
Pendekatan tradisional yang banyak dianut oleh para praktisi dan akademis mengasumsikan, bahwa hingga satu leverage tertentu, risiko perusahaan tidak mengalami perubahan, sehingga baik tingkat biaya hutang maupun tingkat kapitalisasirelatif konstan. Tetapi setelah leverage atau  rasio hutang tertentu, biaya hutang dan biaya modal meningkat. Peningkatan biaya modal sendiri akan semakin besar dan bahkan akan lebih besar dari pada penurunan biaya karena penggunaan hutang yang lebih murah. Akibatnya biaya modal rata-rata tertimbang pada awalnya menurun dan setelah leverage tertentu akan meningkat. Maka nilai perusahaan mula-mula meningkat dan akan menurun sebagai akibat penggunaan hutang yang semakin besar.Menurut pendekatan tradisional, terdapat struktur modal yang optimal untuk setiap perusahaan. Struktur modal yang optimal tersebut terjadi pada saat nilai  maksimum atau struktur modal yang mengakibatkan biaya modal rata-rata tertimbang minimum.
Terkait dengan struktur modal, terdapat beberapa teori sebagai berikut:
1.  Agency Theory
Teori ini dikemukakan oleh Michael C. Jansen dan William H. Meckling pada tahun 1976, manajemen merupakan agen dari pemegang saham, sebagai pemilik perusahaan. Para pedagang saham berharap agen akan bertindak atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan wewenang kepada agen. Untuk dapat melakukan fungsinya dengan baik, manajemen harus diberikan insentif dan pengawasan yang memadai. Pengawasan dapat dilakukan melalui cara-cara seperti pengikatan agen, pemeriksaan laporan keuangan, dan pembatasan terhadap keputusan yang dapat diambil manajemen. Kegiatan pengawasan tentu saja membutuhkan biaya yang disebut dengan biaya agensi.
Biaya agensi menurut Horne dan Wachowic adalah biaya-biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk meyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditor dan pemegang saham.  Menurut Horne dan, salah satu pendapat dalam teori agensi adalah siapapun yang menimbulkan biaya pengawasan, biaya yang timbul pasti tanggungan pemegang saham. Sebagai misal, pemegang obligasi, mengantisipasi biaya pengawasan, serta membebankan bunga yang lebih tinggi. Semakin besar peluang timbulnya pengawasan, semakin tinggi tingkat bunga, dan semakin rendah nilai perusahaan bagi pemegang saham. Biaya pengawasan berfungsi sebagi insentif dalam penerbitan obligasi, terutama dalam jumlah yang besar. Jumlah pengawasan yang diminta pemegang obligasi akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah obligasi yang beredar.
2.  Signaling Theory
Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru yang diperlukan dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan hutang yang melebihi target struktur modal yang normal. Perusahaan dengan prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya. Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan umumnya merupakan suatu isyarat (signal) bahwa manajemen memandang prospek perusahaan tersebut suram. Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan saham baru lebih sering dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun, karena menerbitkan saham baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat menekan harga saham sekalipun prospek perusahaan cerah.
3.  Asymmetric Information Theory
Asymmetric Information atau ketidaksamaan informasi adalah situasi di mana manajer memiliki informasi yang berbeda (yang lebih baik) mengenai prospek perusahaan daripada yang dimiliki investor. Asimetri informasi ini terjadi karena pihak manajemen mempunyai informasi yang lebih banyak daripada para pemodal. Dengan demikian, pihak manajemen mungkin berpikir bahwa harga saham saat ini sedang over value (terlalu mahal). Kalau hal ini yang diperkirakan terjadi, maka manajemen tentu akan berpikir untuk lebih baik menawarkan saham baru sehingga dapat dijual dengan harga yang lebih mahal dari yang seharusnya.
Tetapi, pemodal akan menafsirkan kalau perusahaan menawarkan saham baru, salah satu kemungkinannya adalah harga saham saat ini sedang terlalu mahal (sesuai dengan persepsi pihak manajemen). Sebagai akibatnya para pemodal akan menawar harga saham baru tersebut dengan harga yang lebih rendah. Karena itu emisi saham baru akan menurunkan harga saham.
4.  Pecking Order Theory
Teori ini menyatakan bahwa: (a) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan berwujud laba ditahan), (b) Apabila pendanaan dari luar (eksternal financing) diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dulu, yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru diterbitkan. Sesuai dengan teori ini, tidak ada suatu target debt to equity ratio, karena ada dua jenis modal sendiri, yaitu internal dan eksternal. Modal sendiri yang berasal dari dalam perusahaan lebih disukai daripada modal sendiri yang berasal dari luar perusahaan.
Menurut Myers (1996), perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan dari modal internal, yaitu dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan dan depresiasi. Urutan penggunaan sumber pendanaan dengan mengacu pada packing order theory adalah  internal fund (dana internal), debt (hutang), dan equity (modal sendiri).
Dana internal lebih disukai karena memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu membuka diri lagi dari sorotan pemodal luar. Kalau bisa memperoleh sumber dana yang diperlukan tanpa memperoleh sorotan dan publisitas publik sebagai akibat penerbitan saham baru. Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk hutang daripada modal sendiri karena dua alasan. Pertama adalah pertimbangan biaya emisi. Biaya emisi obligasi lebih murah dari biaya emisi saham baru, hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan haraga saham lama. Kedua, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh pemodal, dan membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan antara lain oleh kemungkinan adanya informasi asimetrik antara pihak manajemen dengan pihak pemodal.

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRUKTUR MODAL
1.  Risiko Bisnis
Elton dan Gruber (1995), menyatakan bahwa pengukuran beta suatu saham bisa dilakukan dengan menggunakan Single Index Model. Model ini berasumsi bahwa return saham berkorelasi dengan perubahan return pasar, dan untuk mengukur korelasi tersebut bisa dilakukan dengan return indeks pasar.
Suatu sekuritas yang mempunyai beta lebih  besar dari satu (slope >1), berarti bahwa sekuritas tersebut mempunyai risiko sistematis yang lebih besar daripada portofolio pasar sebagai keseluruhan. Sekuritas semacam ini disebut investasi yang agresif, sebaliknya suatu sekuritas yang mempunyai beta lebih kecil dari satu (slope <1), berarti bahwa sekuritas tersebut mempunyai risiko sistematis yang lebih kecil daripada portofolio pasar sebagai keseluruhan.Sekuritas semacam ini disebut investasi yang defensif (Horne and Wochowicz, 1995).
Variabilitas pendapatan suatu perusahaan akan mempunyai pengaruh terhadap tingkat penggunaan modal asing, karena dapat digunakan sebagai jaminan dalam memenuhi beban tetap yang harus ditanggung oleh perusahaan yang berupa hutang pokok dan bunga. Ada dua buah resiko yang dihadapi oleh perusanaan yaitu risiko sistematis (systematic risk) dan resiko tidak sistematis (unsystematic risk).Unsystematic risk merupakan risiko yang dapat didiversifikasi, sebaliknya systematic risk merupa­kan risiko yang tidak dapat di­diversifikasi.Systematic risk disebut juga risiko pasar. Jones (1996) mengatakan bahwa resiko sistematis diukur dengan beta. Menurut Hartono, beta merupakan suatu pengukur volatilitas return suatu sekuritas terhadap return pasar. Voltialitas merupakan fluktuasi dari return-return suatu sekuritas atau portofolio. Jika fluktuasi return-return sekuritas atau partofolio secara sistematik mengikuti fluktuasi dari return-return pasar, maka beta dan sekuritas tersebut dikatakan bernilai 1. Hal ini menunjukkan bahwa resiko sistematik suatu sekuritas atau portofolio sama dengan resiko pasar.
Moh'd, Perry dan Rimbey, mengatakan perusahaan yang mempunyai resiko tinggi akan kesulitan mencari dana eksternal. Hal ini konsisten dengan penemuan Chung (1993; bahwa semakin tinggi resiko yang dihadapi perusahaan maka perusahaan tersebut cenderung untuk mempunyai hutang yang sedikit.
2.  Struktur Aktiva
Variabel ini berhubungan dengan jumlah kekayaan (asset) yang dapat dijadikan jaminan.Perusahaan yang lebih fleksibel cenderung menggunakan hutang lebih besar dari pada perusahaan yang struktur aktivanya tidak fleksibel (Wahidahwati, 2000). Investor akan selalu memberikan pinjaman bila ada jaminan. Myers dan Majluf (1984) mengatakan bahwa komposisi aset perusahaan mempengaruhi sumber pembiayaan. Brigham dan Gapensky (1996) mengatakan bahwa secara umum perusahaan yang memiliki jaminan terhadap hutangakan lebih mudah mendapatkan hutang daripada perusahaan yang tidak memiliki jaminan terhadap hutang. Hasil dari Moh'd et. al (1998), Ghosh et. al. (2000) dan Chung (1993) mengatakan bahwa rasio aktiva tetap mempunyai pengaruh yang positif signifikan terhadap tingkat hutang perusahaan.
3.  Profitabilitas
Brigham dan Houston, mengatakan bahwa perusahaan dengan tingkat pengambilan yang tinggi atas investasi menggunakan hutang yang relatif kecil. Tingkat pengembalian yang tinggi memungkinkan untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan dengan dana yang dihasilkan secara internal. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan khususnya penelitian empiris yang telah dilakukan oleh Krishnan (1996), Badhuri (2002), Moh’d (1998), dan Majumdar (1999) menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan. Profitabilitas periode sebelumnya merupakan faktor penting dalam menentukan kebutuhan pendanaan. Dengan laba ditahan yang besar, perusahaan akan lebih senang menggunakan laba ditahan sebelum menggunakan hutang.
Sesuai dengan teori pecking order, yang menyarankan bahwa manajer lebih senang menggunakan pembiayaan dari pertama, laba ditahan, kemudian hutang, dan terakhir penjualan saham baru.Meskipun secara teoritis sumber modal yang biayanya paling murah adalah hutang, kemudian saham preferen dan yang paling mahal adalah saham biasa serta laba ditahan. Sebagai perimbangan lain adalah bahwa direct cost untuk pembiayaan eksternal lebih tinggi dibanding dengan pembiayaan internal. Selanjutnya penjualan saham baru justru merupakan sinyal negatif karena pasar menginterprestasikan perusahaan dalam keadaan kesulitan likuiditas. Penjualan saham baru tidak jarang mengakibatkan terjadinya delusi dan pemegang saham akan mempertanyakan kemana laba yang diperoleh selama ini.
Sedangkan Modigliani dan Miller telah membuat penjelasan tentang pajak bunga, perusahaan dengan tingkat keuntungan atau laba yang tinggi akan menggunakan hutang yang besar untuk mendapatkan keuntungan dari pajak. Lebih jauh lagi dengan adanya ketidak jelasan informasi, perusahaan dengan tingkat keuntungan atau laba yang tinggi akan meningkatkan struktur modalnya (Jensen, 1986). Jika hal tersebut benar, maka akan ada hubungan antara profitabilitas dengan kebutuhan pendanaan. Hal ini kontras dengan teori pecking order.
4.  Ukuran Perusahaan
Dalam penelitian ini ukuran perusahan diproxi dengan logaritma natural dari total aktiva. Menurut Riyanto, kebanyakan perusahaan industri sebagian besar dari modalnya tertanam dalam aktiva tetap (fixed assets), akan mengutamakan pemenuhan modalnya dari modal yang permanen, yaitu modal sendiri, sedang hutang sifatnya sebagai pelengkap. Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya aturan struktur finansial konservatif horisontal yang menyatakan bahwa besarnya modal sendiri hendaknya paling sedikit dapat menutup jumlah aktiva tetap plus aktiva lain yang sifatnya permanen. Dan perusahaan yang sebagian besar dari aktivanya terdiri atas aktiva lancar akan mengutamakan kebutuhan dananya dengan hutang. Jadi dapat dikatakan bahwa struktur aktiva mempunyai pengaruh terhadap struktur modal.
Moh’d Larry dan James (1998) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa struktur aktiva mempengaruhi keputusan modal yang dilakukan oleh manajer. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Bhaduri (2002) yang menunjukkan adanya pengaruh dari struktur aktiva terhadap keputusan modal. Penelitian lain yang dilakukan oleh Krishan (1996) pada perusahaan-perusahaan besar di negara industri juga menunjukkan adanya pengaruh struktur aktiva terhadap struktur modal.
Perusahaan yang sudah well-establishedakan lebih mudah memperoleh modal di pasar modal dibanding dengan perusahaan kecil. Karena kemudahan akses tersebut berarti perusahaan besar memiliki fleksibilitas yang lebih besar pula.
Menurut Brigham dan Houston, perusahaan yang tumbuh dengan pesat harus lebih banyak mengandalkan modal eksternal. Biaya pengembangan untuk penjualan saham biasa lebih besar daripada biaya untuk penerbitan surathutang yang mendorong perusahaan untuk lebih banyak mengandalkan hutang. Namun pada saat yang sama perusahaan yang tumbuh dengan pesat sering menghadapi ketidakpastian yang lebih besar, yang cenderung mengurangi keinginan untuk menggunakan hutang.
Ukuran perusahaan bisa dijadikan acuan untuk menilai kemungkinan kegagalan perusahaan seperti:
a)  Biaya kebangkrutan adalah fungsi yang membatasi nilai perusahaan;
b)  Perusahaan-perusahaan besar biasanya lebih suka melakukan diversifikasi dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan kecil, dan memiliki kemungkinan untuk bangkrut lebih kecil.
Maka pernyataan ini bisa dijadikan sebagai petunjuk bahwa semakin besar ukuran perusahaan (size), akan memberikan kemungkinan bagi perusahaan untuk memiliki hutang yang semakin besar/tinggi pula.
Oleh karena itu, bisa diramalkan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh positif dengan struktur modal.Menurut pendapat Rajan dan Zingales, perusahaan besar cenderung menerbitkan hutang lebih besar dibanding perusahaan kecil, hal ini berarti ada hubungan antara ukuran perusahaan dengan struktur modal.Berbeda dengan hasil penelitiannya bahwa dari hasil regresi sebagai proksi dan trade off theory menunjukkan kalau ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap struktur modal.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Saidi (2004), telah memberikan kesimpulan, bahwa variabel ukuran perusahaan (size) berpengaruh paling dominan terhadap struktur modal.
Selain itu, menurut Maness, ada beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan struktur modal yang optimal, yaitu:
1)  Stabilitas Penjualan
Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil dapat lebih aman memperoleh lebih banyak pinjaman dan menanggung beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang penjualannya tidak stabil.
2)  Operating Leverage
Perusahaan yang mengurangi leverage operasinya lebih mampu untuk menaikkan penggunaan leverage keuangan (hutang).
3)  Corporate Taxes
Karena bunga tax-deductable, ada sebuah keuntungan jika menggunakan hutang. Marginal tax rate perusahaan yang lebih tinggi, maka keuntungan menggunakan hutang akan lebih tinggi, semua yang lainnya dianggap sama.
4)  Kadar resiko dari aktiva
Tingkat atau kadar resiko dari setiap aktiva didalam perusahaan adalah tidak sama. Makin panjang jangka waktu penggunaan suatu aktiva didalam perusahaan, makin besar derajat resikonya,  dan perkembangan dan kemajuan teknologi serta ilmu pengetahuan yang tiada henti, dalam artian ekonomis dapat mempercepat tidak digunakannya suatu aktiva, meskipun dalam artian teknis masih dapat digunakan.
5)  Lenders dan rating agencies
Jika perusahaan menggunakan hutang semakin berlebih, maka pihak lenders akan mulai meminta tingkat bunga yang lebih tinggi dan rating agencies akan mulai menurunkan rating pada tingkat hutang perusahaan.
6)  Internal cash flow
Tingkat internal cash flow yang lebih tinggi dan lebih stabil dapat menjastifikasi sebuah tingkat leverage lebih stabil.
7)  Pengendalian
Banyak perusahaan sekarang meningkatkan tingkathutangnya dan memulai dengan menerbitkan hutang baru hingga repurchase outstanding commonstock. Tujuan dari peningkatan hutang tersebut adalah untuk mendapatkan return yang lebih tinggi, sedangkan pembelian kembali saham bertujuan untuk lebih meningkatkan tingkat pengendalian.
8)  Kondisi ekonomi
Kondisi ekonomi seperti sekarang ini dan juga kondisi pada pasar keuangan dapat mempengaruhi keputusan struktur modal. Ketika tingkat suku bunga tinggi, mungkin keputusan pendanaan lebih mengarah pada short-term debt, dan akan dilakukan refinance dengan long-term debt atau equity jika kondisi pasar memungkinkan.
9)  Preferensi pihak manajemen
Preferensi manajemen terhadap resiko dan gaya manajemen mempunyai peran dalam hubungannya dengan kombinasi debt-equity perusahaan pada struktur modalnya.
10)  Debt covenant
Uang yang dipinjam dari sebuah bank dan juga penerbitan surat hutang dan terwujud melalui serangkaian kesepakatan (debt covenant).
11)  Agency cost
Agency cost adalah sebuah biaya yang diturunkan guna memonitor kegiatan pihak manajemen untuk menjamin bahwa kegiatan mereka selaras dengan persetujuan antara manajer, kreditur dan juga para shareholders.
12)  Profitabilitas
Perusahaan dengan profitabilitas yang tinggi, dan penggunaan internal financing yang lebih besar dapat menurunkan penggunaan hutang (rasio hutang).


D. PENELITIAN-PENELITIAN TENTANG STRUKTUR MODAL
Berikut ini merupakan beberapa penelitian terkait struktur modal.
1.  Ghozali dan Hendrajaya (2000)
Penelitian ini menganalisa hubungan antara leverage faktor dan penggunaan hutang bank guna menganalisis pengaruh monitoring dan pengawasan bank pada struktur modal optimal dengan mengetahui perbedaan perusahaan dengan hutang bank dan tanpa hutang bank dalam karakteristik perusahaan serta pengaruhnya terhadap leverage faktor. Model yang digunakan adalah alat regresi berganda baik secara parsial/simultan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan leverage faktor antara perusahaan dengan hutang bank dan tanpa hutang bank. Variabel independen margin laba dan profiitabilitas secara signifikan berpengaruh terhadap leverage faktor baik pada perusahaan dengan hutang dan tanpa hutang bank, sedangkan variabel independen volatilitas dan penjualan hanya berpengaruh terhadap perusahaan tanpa hutang bank.
2.  McCue dan Ozcan (1992)
Penelitian yang dilakukan oleh ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dari faktor-faktor penentu struktur modal rumah sakit di California.Penelitian dilakukan terhadap 475 rumah sakit selama tahun 1982 hingga tahun 1987. Variabel-variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: asset structure, growth, profitability, risk, size, tax shield, ownership affiliation, payment system, dan market condition.
Hasil penelitian inimenunjukkan bahwa, asset structure, growth, risk, size, ownership affiliation, dan market condition berpengaruh signifikan terhadap keputusan struktur modal.

3.  Balakrishnan, Srinivasan dan Isac Fox (1993)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari karakteristik perusahaan terhadap struktur modal.Penelitian dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan manufaktur di Amerika Serikat tahun 1978 sampai dengan tahun 1987. Variabel-variabel yang digunakan sebagai variabel bebas dalam penelitian ini meliputi: earnings volatility, depreciation, R&D intensity, dan growth opportunities.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik perusahaan atau faktor-faktor yang menjadi penentu struktur modal adalah: risiko yang diukur dengan earnings volatility, depreciation dan advertising.
4.  Saidi (2004)
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh ukuran perusahaan (size), risiko bisnis (business risk), pertumbuhan aktiva (growth of assets), profitabilitas (profitability), struktur kepemilikan (ownership structure) terhadap struktur modal baik secara simultan maupun parsial.
Penelitian dilakukan terhadap perusahaan  manufakturgo public di Bursa Efek Jakarta tahun 1997-2002. Hasil  penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan ukuran perusahaan, Risiko bisnis, Pertumbuhan aktiva, profitabilitas, dan struktur kepemilikan perusahaan  secara bersama – sama berpengaruh terhadap struktur modal. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan mengenai struktur modal yang akan digunakan atau diterapkan. Risiko bisnis tidak diperhatikan oleh manajer dalam pengambilan keputusan mengenai struktur modalnya, hal ini tampak dari pengaruh parsial dari risiko bisnis terhadap struktur modal yang tidak signifikan.

E.  PENUTUP
Salah satu tugas manajer keuangan adalah memenuhi kebutuhan dana. Di dalam melakukan tugas tersebut manajer keuangan dihadapkan adanya suatu variasi dalam pembelanjaan, dalam arti kadang-kadang perusahaan  lebih  baik menggunakan dana yang bersumber dari hutang (debt) kadang-kadang perusahaan  lebih  baik kalau menggunakan dana yang bersumber dari modal sendiri (equity).
Oleh karena itu, manajer keuangan di dalam operasinya perlu berusaha untuk memenuhi suatu sasaran tertentu mengenai perimbangan antara besarnya hutang jumlah modal sendiri yang tercermin dalam struktur modal perusahaan, perlu diperhitungkan berbagai faKtor-faktor yang mempengaruhi struktur modal, yaitu  ukuran perusahaan, risiko bisnis, pertumbuhan aktiva, profitabilitas, dan struktur kepemilikan.

 DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, and G Madelker. 1987. ”Managerial Incentive and Corporate Investment and Financing Decision”, Journal of Finance, 42, 823- 837.
Ariyanto, Taufik. 2002.Pengaruh Struktur Pemegang Saham Terhadap Struktur Modal Perusahaan, Jurnal Manajemen Indonesia, Vol. 1, p. 64-71.
Prayogo, J. 2002Analisa Struktur Modal Industri Manufaktur di BEJ Beserta Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Thesis MM, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Rizal, Muhammad. 2002.Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan Manufaktur di BEJ tahun 1997-2002. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Saidi. 2003. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal pada Perusahaan Manufaktur Go Public di BEJ Tahun 1997-2002, Jurnal Bisnis dan Ekonomi, Vol 11, No.1, Maret, hal 44-58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar