BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kusta
merupakan penyakit menular yang banyak menyerang kulit dan syaraf. Kusta atau
yang dikenal juga dengan Leprosy/Hansen’s Disease, dapat menyebabkan gangguan pada kulit, mati rasa,
dan kelumpuhan pada tangan dan kaki. Selain itu, kusta dapat menyerang sistem pernapasan
atas, mata, dan membrane selaput lendir. Kusta dapat menular melalui kontak kulit
dengan penderita atau melalui bersin.
Saat ini,
penyakit kusta ini bukan hanya menjadi permasalahan di bidang kesehatan saja.
Namun, telah termanifestasi pula ke dalam permasalahan psikososial. Hal ini
dikarenakan adanya leprophobia (rasa
takut yang berlebihan pada penyakit kusta)
yang menjadi salah satu dampak psikososial yang disebabkan oleh penyakit
ini. Leprophobia tidak hanya dialami oleh masyarakat awam, tetapi juga pada
tenaga medis dan tenaga kesehatan yang bekerja di bidag pelayanan kesehatan.
Sehingga, penderita kusta seringkali diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh masyarakat
maupun tenaga medis dan tenaga kesehatan. Hal ini menjadi salah satu penghambat
dalam usaha penanggulangan penyakit kusta.
Pada umumnya, penyakit kusta terdapat di
negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari
golongan ekonomi lemah. Hal ini karena akibat keterbatasan kemampuan negara
tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.
Penyakit kusta tersebar di seluruh
dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Di seluruh dunia, dua hingga tiga
juta orang diperkirakan menderita kusta. India adalah
negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar.
Pada 1999,
insidensi penyakit kusta di
dunia diperkirakan 640.000. Pada 2000, 738.284
kasus ditemukan. Pada 1999,
108 kasus terjadi di Amerika Serikat sedangkan 70% kasus
dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917
kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus
kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.
Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98
negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu prevalensi rate < 1/10.000
penduduk. Pada tahun 1991, World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun
2000. Pada 1999, insidensi penyakit
kusta di dunia diperkirakan 640.000 dan 108 kasus terjadi di Amerika Serikat.
Pada 2000, Word Health Organisation
membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India,
Myanmar, dan Nepal (Depkes RI, 2005).
Pada
tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil dalam
hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Walaupun ada penurunan yang
cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun sesungguhnya jumlah penemuan
kasus baru tidak berkurang sama sekali. Oleh karena itu, selain angka
prevalensi rate, angka penemuan kasus baru juga merupakan indikator yang harus
diperhatikan (Depkes RI, 2005).
Pada 2002, 763.917
kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus
kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal. Di
seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta.
Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003 menunjukkan India sebagai negara
dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar (Depkes RI,
2005).
WHO melaporkan
bahwa pada 115 negara dan teritori tahun 2006 (diterbitkan di Weekly Epidemiological Record dan
terdaftar secara global), terdapat prevalensi
kusta pada awal tahun adalah 219.826 kasus. Sedangkan kasus baru yang
terdeteksi adalah 296.499 kasus. Deteksi
global kasus baru terus menunjukkan penurunan tajam, yaitu sebesar 110.000
kasus (27%) selama tahun 2005 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Di Indonesia, jumlah penderita kusta dengan frekuensi
tertinggi di provinsi Jawa Timur yaitu mencapai
4/10.000
penduduk. Selanjutnya
provinsi Jawa Barat mencapai 3/10.000
penduduk dan provinsi Sulawesi Selatan yaitu 2/10.000 penduduk (Depkes RI, 2002).
Pada pertengahan tahun 2000, Indonesia telah mencapai
eliminasi sesuai target WHO. Pada tahun
2003, distribusi kusta menurut waktu yaitu pada akhir tahun Desember 2003
sebanyak 18.312 penderita yang terdiri dari 2.814 PB dan 15.498 MB dengan
prevalens rate 0,86 per 10.000 penduduk terdapat di 10 provinsi, yaitu: Jawa
Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara,
Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur (Depkes RI, 2005).
Menurut Menkes
RI (2009) mengatakan setiap tahun muncul sedikitnya 1.500 kasus kecacatan
akibat penyakit kusta. Secara
kumulatif sejak 1990-2009 terdapat sekitar 30.000 kasus penyakit
kusta. Meski
Indonesia telah mencapai eliminasi pada tingkat nasional karena angka
prevalensi kurang dari 1/10.000 penduduk pada 2000. Namun sampai saat ini masih
ada 14 provinsi dengan jumlah kasus kusta tinggi. Empat provinsi di antaranya yaitu Jawa Timur, Jawa
Barat, dan Jawa Tengah, serta Sulawesi Selatan melaporkan lebih dari 1.000
kasus per tahunnya.
Menurut
laporan resmi yang diterima WHO selama 2011 dari 130 negara dan wilayah,
prevalensi penyakit kusta secara global pada awal tahun 2011 terdiri dari
192.246 kasus, sementara jumlah kasus baru terdeteksi selama 2010 adalah
228.474 kasus (tidak termasuk kasus kecil di Eropa).
Masih
banyaknya kasus dan perlakuan tidak manusia yang diterima oleh penderita
menjadikan permasalahan kusta sebagai masalah yang kompleks. Bukan hanya
permasalahan yang harus diatasi secara medis saja, namun juga merupakan masalah
sosial yang masih menjadi mimpi buruk bagi masyarakat Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa definisi penyakit kusta?
2. Apa penyebab penyakit kusta?
3. Bagaimana cara penularan penyakit
kusta?
4. Bagaimana Masa inkubasi
penyakit kusta?
5. Bagaimana jenis-jenis penyakit kusta
dan gejala klinisnya?
6. Bagaimana tanda-tanda terjadinya penyakit
kusta?
7. Bagaimana
patogenesis penyakit
kusta?
8. Bagaimana cara
diagnosis penyakit
kusta?
9. Bagaimana
epidemiologi dari penyakit kusta
10. Bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan dari penyakit
kusta?
11. Bagaimana epidemiologi kusta menurut
karakteristik orang, waktu dan tempat?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui definisi penyakit kusta
2.
Untuk mengetahui penyebab penyakit kusta
3. Untuk
mengetahui cara
penularan penyakit kusta
4. Untuk
mengetahui
Masa inkubasi
penyakit kusta
5. Untuk
mengetahui
jenis-jenis penyakit kusta dan gejala klinisnya
6.
Untuk mengetahui tanda-tanda terjadinya penyakit
kusta
7.
Untuk mengetahui patogenesis penyakit kusta
8.
Untuk mengetahui cara diagnosis penyakit kusta
9. Untuk
mengetahui epidemiologi dari penyakit kusta
10. Untuk
mengetahui cara
pencegahan dan penanggulangan dari penyakit
kusta
11. Untuk mengetahui epidemiologi kusta
menurut karakteristik orang, waktu dan tempat.
D. Manfaat
·
Bagi mahasiswa
Sebagai
referensi untuk menambah wawasan tentang penyakit kusta
·
Bagi Dosen
Menilai sejauh
mana pemahaman mahasiswa terhadap materi kuliah yang telah diberikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Penyakit Kusta
Istilah kusta
berasal dari bahasa Sanskerta, yakni kushtha
berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga
penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Penyakit Hansen
adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini
adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta
tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada
penyakit tzaraath yang digambarkan
dan sering disamakan dengan kusta
(Daili, 1998).
Penyebab kusta
adalah kuman Mycobacterium leprae. Dimana
microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang,
dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium,
berukuran panjang 1–8 micro, lebar 0,2–0,5 micro, biasanya berkelompok dan ada
yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau
gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika
diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh
karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan
organisme patogen (misalnya Mycrobacterium
tuberculosis, Mycrobakterium leprae)
yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma
infeksion. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada
laboratorium.
C.
Cara Penularan
Cara penularan
pasti dari penyakit kusta belum diketahui dengan jelas, namun penularan di dalam rumah
tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat
berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung
pada penderita kusta tipe lepromatosa yang
tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung
yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme
kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang
terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga
melalui plasenta (Daili, 1998).
Cara-cara
penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput
lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
penularan penyakit kusta adalah:
1) Melalui
sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2) Kontak
kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,
keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak
yang lama dan berulang-ulang.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari
penderita kusta tipe multi basiler
kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan
dan kulit. Masa inkubasinya yaitu 3-5 tahun (Nadesul, 1995).
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang
tidak mudah dan tidak perlu ditakuti. Penyakit ini dapat timbul tergantung dari
beberapa faktor, antara lain:
1)
Faktor
Kuman kusta
Dari hasil
penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh (solid) bentuknya,
lebih besar kemungkinan menyebabkan penularan dari pada orang yang tidak utuh
lagi. Mycobacterium leprae bersifat
tahan asam, bermentuk batang dengan panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5
mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh
manusia antara 1-9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan
penularan (Depkes RI, 2002).
2)
Faktor
Imunitas
Sebagian
manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian menunjukan
bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 0rang yang tidak menjadi sakit, 3 orang
sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum lagi
mempertimbangkan pengaruh pengobatan (Depkes RI, 2002).
3)
Keadaan
Lingkungan
Keadaan rumah
yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan, merupakan faktor
penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan meningkatnya taraf hidup dan
perbaikan imunitas merupakan faktor utama mencegah munculnya kusta.
4)
Faktor
Umur
Penyakit kusta
jarang ditemukan pada bayi. Incidence
Rate penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai
20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur
dengan puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan
menurun (Hasibuan, 1990).
5)
Faktor
Jenis Kelamin
Insiden maupun
prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita, kecuali di Afrika
dimana wanita lebih banyak menjadi penderita ppenyakit kusta
daripada laki-laki.
D. Masa Inkubasi
Masa inkubasi
pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum
dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada
veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah
ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama
untuk kusta lepromatosa.
Kuman Mycobacterium leprae menular kepada
manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan,
kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata
2-5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul
antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota
tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Melniek, 2001).
Penyakit ini
jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun, lebih
dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling
muda adalah usia 2,5 bulan.
E.
Bentuk-bentuk
dan Gejala Penyakit Kusta
Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
- Tipe
tuberkoloid (TT)
Lesi ini
mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula
atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang
meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis
atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa
gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid
dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang
adekuat terhadap kuman kusta.
- Tipe
borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT,
yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya.
Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit
atau skuama tidak sejelas tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan
biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
- Tipe
mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil
dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai.
Lesi dapat berbentuk makula infiltratif.
Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang
melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi, baik dalam
ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas
tipe ini.
- Tipe
borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan
makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh
badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil,
papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan
beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak
normal dengan pinggir dalam infiltrat
lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak
seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya keringat
dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan
saraf dapat teraba pada tempat predileksi.
- Tipe
lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris,
permukaan halus, lebih eritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi,
pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang
dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada
stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal,
garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis.
Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas
pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan
saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan
papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat
dan nodus. Pada stadium lanjut
serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang
menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
Salah satu
tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor
ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi
atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila
dengan pemeriksaan histopatologik.
Dari sisi medis, Kusta diklasifikasikan
berdasarkan banyak faktor, hal tersebut bertujuan untuk mempermudah cara
penanganan dari penyakit kulit ini. Namun, pada umumnya Kusta terbagi menjadi
dua, yakni kusta pausibasilar (PB) atau kusta tipe kering dan kusta
multibasilar (MB) atau kusta tipe basah. Hal sesuai dengan klasifikasi untuk kepentingan program
kusta/klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi dari
WHO (1988):
1.
Kusta Pausibasilar (PB)
Tanda-tandanya:
o
Bercak putih seperti panu yang mati
rasa, artinya bila bercak putih tersebut disentuh dengan kapas, maka kulit
tidak merasakan sentuhan tersebut.
o
Permukaan bercak kering dan kasar
o
Permukaan bercak tidak berkeringat
o
Batas (pinggir) bercak terlihat jelas
dan sering ada bintil-bintil kecil.
Kusta tipe kering ini kurang/ tidak
menular, namun apabila tidak segera diobati akan menyebabkan cacat. Umumnya,
orang mengira bercak putih seperti tanda-tanda di atas adalah panu biasa,
sehingga pemeriksaan pun tidak segera dilakukan sebelum akhirnya orang tersebut
telah mengalami Kusta pada level lebih lanjut. Sehingga, pemeriksaan dan
pengobatan semenjak dini ke Puskesmas atau pun Rumah Sakit terdekat pun sangat
dianjurkan. Pengobatan kusta tipe PB ini cenderung lebih sebentar daripada tipe
basah.
2.
Kusta Multibasilar (MB)
Tanda-Tandanya:
§ Bercak
putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh kulit badan.
§ Terjadi
penebalan dan pembengkakan pada bercak.
§ Pada
permukaan bercak, sering ada rasa bila disentuh dengan kapas.
§ Pada
permulaan tanda dari tipe kusta basah sering terdapat pada cuping telinga dan
muka.
Kusta tipe basah ini dapat menular, maka
bagi yang menderita penyakit tipe kusta tipe basah ini harus berobat secara
teratur sampai selesai seperti yang telah ditetapkan oleh dokter. Namun,
umumnya kendala yang dihadapi adalah pasien tidak mentaati resep dokter,
sehingga selain mereka tidak menjadi lebih baik, mereka pun akan resisten
terhadap obat yang telah diberikan. Untuk Kusta MB ini menular lewat kontak
secara langsung dan lama. ”Penularan terjadi apabila seseorang kontak dengan
pasien sangat dekat dan dalam jangka panjang,” Sehingga bagi pasien kusta MB
harus segera melakukan pengobatan, dan melakukan penyembuhan secara teratur.
F.
Tanda-tanda
Penyakit Kusta
Tanda-tanda
penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit
kusta tersebut, tetapi secara umum tanda-tanda penyakit kusta, yaitu:
- Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh
manusia.
- Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi
lama-lama semakin melebar dan banyak.
- Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris,
medianus, aulicularis magnus serta peroneus.
- Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi
tipis dan mengkilat.
- Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang
tersebar pada kulit.
- Alis rambut rontok.
- Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies
leomina (muka singa).
Sedangkan gejala-gejala umum pada
kusta/lepra dapat terlihat dari reaksi-rekasi berikut ini:
- Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
- Noreksia.
- Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.
- Cephalgia dan Neuritis.
- Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
- Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
hepatospleenomegali.
G. Diagnosis Penyakit Kusta
Diagnosis pada penyakit kusta
dilakukan dengan dasar pada tanda-tanda medis dan juga gejala yang timbul pada
penderita.
Diagnosis terhadap penyakit kusta:
1.
Pastikan
adanya perubahan atau hilang rasa pada kulit
2.
Pastikan
pembesaran pada Syaraf yang terganggu
3.
Memeriksa bagian skin patch dengan mikroskop
H. Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh
masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan
bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium leprae terhadap
kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup Mycobacterium
leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat
kuman yang avirulen dan nontoksis (Hasibuan, 1990).
Mycobacterium
leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama
terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis
atau sel Schwan di jaringan saraf.
Bila kuman Mycobacterium leprae masuk
ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear,
histiosit) untuk memfagositnya (Hasibuan, 1990)
Pada kusta
tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat
merusak jaringan (Depkes RI, 2002)
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas
selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya
setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel
epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel
datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi
berlebihan dan masa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya (Hasibuan, 1990)
Sel Schwan
merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobacterium
lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya
sedikit fungsinya sebagai fagositosis.
Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya
aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Depkes RI,
2000).
Berikut ini
merupakan gambar rantai penularan penyakit kusta:
I.
Dampak Penyakit Kusta
Seseorang
yang merasakan dirinya menderita penyakit kusta akan mengalami trauma psikis.
Sebagai akibat dari trauma psikis ini, si penderita akan bereaksi sebagai
berikut :
·
Dengan segera mencari pertolongan
pengobatan.
·
Mengulur-ulur waktu karena ketidaktahuan
atau malu bahwa ia atau keluarganya menderita penyakit kusta.
·
Menyembunyikan (mengasingkan) diri dari
masyarakat sekelilingnya, termasuk keluarganya.
·
Oleh karena berbagai masalah, pada
akhirnya si penderita bersifat masa bodoh terhadap penyakitnya.
Sebagai akibat dari hal-hal tersebut
diatas, maka timbullah berbagai masalah baru, antara lain:
1.
Masalah terhadap diri penderita kusta
Pada umumnya penderita kusta merasa
rendah diri, merasa tekan batin, takut terhadap penyakitnya dan terjadinya
kecacatan, takut mengahadapi keluarga dan masyarakat karena sikap penerimaan
mereka yang kurang wajar. Segan berobat karena malu, apatis, karena kecacatan
tidak dapat mandiri sehingga beban bagi orang lain (jadi pengemis, gelandangan
dsb).
2.
Masalah Terhadap Keluarga.
Keluarga menjadi panik, berubah mencari
pertolongan termasuk dukun dan pengobatan tradisional, keluarga merasa takut
diasingkan oleh masyarat disekitarnya, berusaha menyembunyikan penderita agar
tidak diketahui masyarakat disekitarnya, dan mengasingkan penderita dari
keluarga karena takut ketularan.
3. Masalah
Terhadap Masyarakat.
Pada umumnya masyarakat mengenal
penyakit kusta dari tradisi kebudayaan dan agama, sehingga pendapat tentang
kusta merupakan penyakit yang sangat menular, tidak dapat diobati, penyakit
keturunan, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan. Sebagai akibat
kurangnya pengetahuan/informasi tentang penyakit kusta, maka penderita sulit
untuk diterima di tengah-tengah masyarakat, masyarakat menjauhi keluarga dari
perideita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat mendorong agar penderita
dan keluarganya diasingkan.
J. Pencegahan dan
Penanggulangan Penyakit Kusta
Hingga saat ini
tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan
bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan
menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi, faktor
pengobatan menjadi snagat penting, dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah. Disini, letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan
kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara
teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara
pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup
24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan
cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman
kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah
dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.
Ada beberapa
obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi, kita tidak dapat
menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh
kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian, sangat
penting bagi petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang,
materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan
pengajaran bahwa :
- Ada obat yang dapat menyembuhkan
penyakit kusta
- Sekurang-kurangnya
80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta
- Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang
lain
- Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati
kira-kira 6 bulan secara teratur (Depkes RI, 2005).
Ø Pencegahan yang dapat dilakukan
untuk mencegah penyakit kusta:
·
Mencegah kontak dengan kulit penderita
·
Meningkatkan sistem imun dengan melakukan hidup
sehat
·
Diagnosis dan pengobatan dengan segera jika merasa
mengalami gejala-gejala penyakit kusta ini. Penyakit kusta dapat diobati jika
dideteksi lebih awal dan mendapat pengobatan secara teratur.
Ø Obat-obat
yang dapat digunakan untuk penyakit kusta:
·
Rifampicin: dapat membunuh bakteri kusta dengan menghambat perkembangbiakan bakteri. Dosis 600 mg.
·
Diaminodiphenylsulfone: mencegah resistansi bakteri terhadap obat (Dapsone)
(dikombinasikandenganobatlain)
·
Clofazimine(CLF): menghambat pertumbuhan dan menekan efek bakteri
yang perlahan pada Mycobacterium Lepraedengan berikatan pada DNA bakteri
·
Ofloxacin: Synthetic Fluoroquinolone, beraksi menyerupai
penghambat bacterial DNA gyrase
·
Minocycline: Semisynthetic Tetracycline, menghambat sintesis
protein pada bakteri
Ø Penanggulangan Penyakit Kusta
Penanggulangan
penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta
menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode
penanggulangan ini terdiri dari metode rehabilitasi yang terdiri dari
rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode
pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita
dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode
tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan. Upaya
yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui Penemuan penderita
secara dini, Pengobatan penderita, Penyuluhan kesehatan di bidang kusta, Peningkatan
ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta, dan Rehabilitasi penderita
kusta.
Ø Penanggulangan Penyakit Kusta melalui Rehabilitasi
1) Rehabilitasi
Medik
Timbulnya cacat pada penyakit kusta
merupakan salah satu hal yang paling penting ditakuti. Walaupun dengan
pengobatan yang benar dan teratur penyakit kusta dapat disembuhkan, akan tetapi
cacat yang telah timbul atau mungkin yang akan timbul merupakan persoalan yang
cukup kompleks. Bila hal ini tidak
ditangani secara benar, maka akan berlanjut semakin parah serta berakhir fatal.
Makin berat keadaan suatu cacat, maka makin cepat pula
keadaan memburuk.
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan
yang baik dan benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik
secara terpadu, mulai dari pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan
luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki, protese atau
alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan
rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap
kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi
beban pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak
diagnosis ditegakkan. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu
kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai rehabilitasi paripurna.
Perawatan
terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :
a) Mencegah
kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis, dan kontraktur.
b)
Hentikan
kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
c) Kontrol
nyeri.
d) Pengobatan
untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
Bila kasus
dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan. Bila kasus
lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan
handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa
hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah :
a)
Pemeliharaan kulit harian
·
Cuci
tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun (jangan
menggunakan detergen).
·
Rendam
kaki sekitar 20 menit dengan air dingin
·
Kalau
kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas.
·
Kulit digosok dengan minyak.
·
Secara
teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot
spot, nyeri, luka dan lain-lain)
b)
Proteksi tangan dan kaki
1) Tangan
:
·
pakai sarung tangan waktu bekerja
·
stop merokok
·
jangan
sentuh gelas/barang panas secara langsung
·
lapisi
gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut
2) Kaki
·
selalu
pakai alas kaki
·
batasi
jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan
·
meninggikan
kaki bila berbaring
·
Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah :
1) Cegah
kontraktur
2) Peningkatan
fungsi gerak
3) Peningkatan
kekuatan otot
4) Peningkatan
daya tahan (endurance)
·
Latihan lingkup gerak sendi : secara
pasif meluruskan jari-jari menggunakan tangan yang sehat atau dengan bantuan
orang lain. Pertahankan 10
detik, lakukan 5 – 10 kali per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat
ditingkatkan untuk mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga
dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak.
·
Latihan aktif meluruskan jari-jari
tangan dengan tenaga otot sendiri
·
Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian
belakang dengan cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati tembok,
sementara kaki tetap berpijak.
·
Program
latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk mempertahankan elastisitas otot,
mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan.
c)
Bidai
Pembidaian dapat dilakukan untuk jari
dan pergelangan tangan agar tidak terjadi deformitas.
Bidai dipasang pada anggiota gerak fungsional saat timbul reaksi penyakit.
Bidai dapat mengurangi nyeri dan mencegah kerusakan saraf. Dianjurkan memakai
bidai yang ringan yang dipakai sepanjang hari, kecuali pada waktu latihan
lingkup gerak sendi.
d)
Dapat di buat sepatu khusus, sesuai
dengan deformitas yang terjadi.
e)
Program terapi okupasi merupakan
program yang sangat penting untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan
menolong diri, tetapi perlu diingat hal-hal yang harus diperhatikan untuk
melindungi alat gerak dari bahaya pekerjaan rumah tangga. Alat bantu khusus
dapat dibuat untuk kemudahan bekerja, sesuai dengan deformitas pasien.
f) Dukungan psikososial dari keluarga dan lingkungan
merupakan hal yang harus dilaksanakan. Bila ada masalah, evaluasi psikologis
dan evaluasi kondisi sosial, dapat dijadikan titik tolak program terapi
psikososial.
2)
Rehabilitasi
Nonmedik
Meskipun
penyakit kusta tidak menyebabkan kematian, namun penyakit ini termasuk penyakit
yang paling ditakuti diseluruh dunia. Penyakit ini sering kali menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks bagi
penderita kusta itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pada penyakit kusta ini dikenal 2 jenis cacat yaitu cacat
psikososial dan cacat fisik.
Seringkali penyakit
kusta diidentikkan dengan cacat fisik yang menimbukan rasa jijik atau ngeri
serta rasa takut yang berlebihan (leprophobia)
terhadap mereka yang melihatnya. Akibat hal-hal tersebut di atas, meskipun
penderita kusta telah diobati dan dinyatakan sembuh secara medis, akan tetapi
bila fisinya cacat, maka predikat kusta
akan tetap melekat untuk seluruh sisa hidup penderita, sehingga ia dan
keluarganya akan dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya.
Masalah
psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan dengan
masalah medisnya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena adanya stigma
leprofobia yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham keagamaan, serta
informasi yang keliru tentang penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat
yang negative terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta
tidak mendapatkan tempat di dalam keluarganya dan masyarakat lingkungannya.
Setelah
diagnosis ditegakkan, maka upaya rehabilitasi harus segera dimulai sedini
mungkin, sebaiknya sebelum pengobatan kusta itu dimulai dan dilakukan
secara terus menerus secara paripurna sampai ia dapat mencapai kemandirian dan hidup bermasyarakat seperti
sediakala. Dengan kata lain
tujuan akhir rehabilitasi adalah resosialisasi
penderita itu sendiri.
Pengobatan
penyakit kusta sangat penting untuk memutuskan mata rantai penularan dan
mencegah terjadinya cacat fisik. Bila pengobatan tersebut tidak diimbangi oleh
rehabilitasi mental, maka akan sulit dicapai partisipasi aktif dari penderita
agar berobat teratur dan menyelesaikan secara tuntas program pengobatan yang
telah dianjurkan. Dalam banyak hal, penderita dapat kehilangan sumber
penghasilannya dan memperburuk
keadaannya beserta keluarga.
3) Rehabilitasi Mental
Seperti telah dijelaskan, setiap
penderita yang dinyatakan menderita penyakit kusta akan mengalami kegoncangan
jiwa dan masing-masing mempunyai cara sendiri untuk bereaksi terhadap keadaan
ini. Ada yang segera dapat menerima keadaan ini dan segera mancari pertolongan
medis, ada pula yang berusaha menolak kenyataan dengan mencari pertolongan
alternatif termasuk berobat pada dukun, tabib dan sebagainya. Dan adapula yang
merasa rendah diri mengalami depresi, menyendiri, menyembunyikan dirinya karena
malu, dan ada pula yang berfikir untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Pada umumnya, mereka dibayang-bayangi
oleh ketakutan yang sangat mendalam akan timbulnya cacat fisik akibat penyakit
ini. Suatu hal yang perlu kita sadari bahwa tidak seorang sehatpun ingin
mendapatkan cacat dalam kehidupannya. Hal ini merupakan dasar bagi setiap petugas kesehatan dalam melakukan
penyuluhan kusta. dengan menekankan bahwa sebenarnya penyakit kusta bila
diobati secara dini dan benar akan dapat mengurangi risiko terjadinya cacat
semaksimal mungkin.
Penyuluhan kesehatan berupa bimbingan
mental, harus diupayakan sedini mungkin pada setiap penderita, keluarganya, dan
masyarakat sekitarnya, untuk memberikan dorongan dan semangat agar mereka dapat menerima kenyataan ini. Selain itu
juga agar penderita dapat segera mulai menjalani pengobatan dengan teratur dan
benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Informasi yang perlu disampaikan
antara lain sebagai berikut:
a)
Hal-hal
yang berkaitan dengan stigma dan leprofobi
b)
Masalah psikososial kusta
c)
Komplikasi, misalnya neuritis dan reaksi
yang sering sekali timbul selama proses pengobatan dan setelah pengobatan selesai.
d)
Proses terjadinya cacat kusta dan
berlanjutnya cacat tersebut.
e)
Peran
serta masyarakat pada penanggulangan penyakit kusta.
f)
Masalah rujukan dan rumah sakit rujukan.
g)
Dan
lain-lain yang dianggap perlu, misalnya rehabilitasi,
berbagai upaya kesehatan terhadap penyakit kusta.
Hal-hal ini
harus disampaikan oleh petugas kesehatan kepada penderita dan keluarganya sebelum pengobatan kusta dimulai, secara sederhana dan mudah
dimengerti oleh mereka. Hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan
keberhasilan penanggulangan penyakit kusta secara paripurna.
4) Rehabilitasi Karya
Tidak semua
penderita kusta bila sembuh datang kembali bekerja pada pekerjaan semula,
apalagi bila pekerja terlanjur mengalam cacat fisik. Walaupun telah diupayakan
rehabilitasi medis dan dinyatakan sembuh dari penyakitnya, mantan penderita
tidak dapat melakukan pekerjaan yang sama seperti sediakala. Dalam banyak hal
adanya stigma atau leprofobia akan menyebabkan penderita
(mantan) kerap kali menghadapi kendala sosial, sehungga perlu mengganti jenis
pekerjaan untuk memugkinkan mencari nafkah bagi diri dan keluarganya. Adanya
hilang rasa (anastesi) pada palmar atau plantar menyebabkan pekerjaan tertentu harus dihindari.
Upaya
rehabilitasi karya ini dilakukan agar penderita yang sudah terlanjur cacat
dapat kembali melakukan pekerjaan yang sama, atau dapat melatih diri terhadap
pekerjaan baru sesuai dengan tingkat cacat, pendidikan dan pengalaman bekerja
sebelumnya. Disampng itu penempatan di tempat kerja yang aman dan tepat akan
mengurangi risiko berlanjutnya cacat pada penderita kusta.
5) Rehabilitasi
Sosial
Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan
fungsi sosial ekonomi penderita. Hal ini sangat sulit dicapai oleh penderita
sendiri tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di sekitarnya. Rehabilitasi sosial
bukanlah bantuan sosial yang harus diberikan secara terus menerus, melaikan
upaya yang bertujuan untuk menunjang kemandirian penderita. Upaya ini dapat
berupa :
a)
Memberikan bimbingan sosial.
b)
Memberikan peralatan kerja.
c) Memberikan alat bantu cacat, misalnya kursi roda/tongkat
jalan.
d) Memberikan bantuan penempatan kerja yang lebih sesuai
dengan keadaan cacatnya.
e)
Membantu membeli/memakai hasil-hasil
usaha mereka
f)
Membantu pemasaran hasil-hasil usaha
mereka.
g) Memberikan bantuan kebutuhan pokok, misalnya pangan,
sandang, papan, jaminan kesehatan, dan sebagainya.
h)
Memberikan
permodalan bagi usaha wiraswasta.
i)
Memberikan
bantuan pemulangan ke daerah asal.
j)
Memberikan bimbingan mental/spiritual.
k)
Memberikan pelatihan ketrampilan/magang
kerja dan sebagainya.
Peran serta masyarakat dalam menunjang
keberhasilan resosiaisasi mereka. Semua akan dapat terlaksana dengan baik
apabila stigma dan leprofobi dapat ditekan hingga seminimal
mungkin. Dengan demikian, kehadiran mereka dapat diterima oleh masyarakat,
hasil karya dan usaha mereka mau dibeli serta dipakai oleh masyarakat. Tanpa
partisipasi, maka segala usaha tersebut tidak akan berhasil (Depkes RI ,
2005)
BAB III
EPIDEMIOLOGI
A.
Epidemiologi
Kusta secara global
Kelompok yang
berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan
kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak
bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV
yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali
lebih tinggi dari wanita (Daili, 1998).
Distribusi penyebaran penyakit kusta dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal di bawah ini, yaitu:
·
Usia : Anak-anak
lebih peka dari pada orang dewasa
·
Jenis kelamin :
Laki-laki lebih banyak dijangkiti
·
Ras : Bangsa
Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
·
Kesadaran sosial
: Umumnya negara-negara endemis kusta adalah Negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
·
Lingkungan :
Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat
Kusta menyebar
luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis
dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa
menyerang di mana saja. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di
Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke
Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang
India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.
Di seluruh
dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. India adalah negara
dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar.
Pada 1999, insidensi
penyakit kusta du dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus
ditemukan. Pada 1999, 108 kasus
terjadi di Amerika
Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik
kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus
ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta
dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.
Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga
setelah India dan Brazil dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia.
Walaupun ada penurunan yang cukup drastis dari jumlah kasus terdaftar, namun
sesungguhnya jumlah penemuan kasus baru tidak berkurang sama sekali.
Begitupula setelah 10 tahun kemudian, yaitu pada tahun 2010, Indonesia masih
menempati urutan ketiga setelah India dan Brazil, dengan jumlah kasusnya
sebanyak 17.012 kasus. Peta penyebaran penyakit kusta dapat dilihat pada
lampiran.
B.
Prevalensi Penderita Kusta
Pada
pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta
terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat
mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh World Health Organisation yaitu tahun
2000. Dan saat ini, menurun menjadi 17.012 kasus (WHO,2010).
Meski
Indonesia telah mencapai eliminasi pada tingkat nasional karena angka
prevalensi kurang dari 1/10.000 penduduk pada 2000. Namun sampai saat ini masih
ada 14 provinsi dengan jumlah kasus kusta tinggi. Empat
provinsi di antaranya yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, serta
Sulawesi Selatan melaporkan lebih dari 1.000 kasus per tahunnya.
Pada akhir
tahun 2000 di seluruh Indonesia terdaftar 17.539 kasus yang mendapat pengobatan
MDT. Gambaran ini menurun menjadi 17.137 kasus pada desember 2001, akan tetapi
terjadi peningkatan pada tahun 2002
menjadi 19.100 kasus. Dengan sendirinya PR per 10.000 penduduk menurun dari
0,99 menjadi 0,86 dan 0,84 yang kemudian meningkat lagi menjadi 0,92.
Pada tahun
2001, Prevalensi Rate di tingkat
propinsi mempunyai variasi yang sangat lebar DI Yogyakarta (0,09) dan tertinggi
di Propinsi Papua (5,99). Sedangkan pada tahun 2002 Prevalensi Rate
terendah di propinsi DI Yogyakarta (0,0) dan terendah di Maluku utara (6,72).
Dari gambaran prevalensi di propinsi, terlihat bahwa kebanyakan propinsi yang
belum dapat mencapai eliminasi terletak di Kawasan Indonesia Timur dan daerah
yang sering terjadi konflik.
Sedangkan menurut data WHO tahun 2005 untuk wilayah
Indonesia PR nya meningkat menjadi 0,98/10.000, dimana wilayah yang telah
mencapai PR di bawah 1/10.000, yaitu wilayah Sumatera (kecuali DI. Aceh),
Kalimantan (kecuali Kalimantan Selatan), Jawa (kecuali Jawa Timur), Bali, dan
NTB. Selanjutnya, wilayah dengan PR 1-2/10.000, yaitu DI. Aceh, Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, NTT, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan
untuk wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara prevalensi ratenya adalah
2,01-3/10.000. Wilayah Gorontalo, Maluku, dan Papua pun prevalensi ratenya
masih 3,01-5/10.000. Dan yang paling parah adalah wilayah Maluku Utara, dengan
prevalensi ratenya di atas 5/10.000.
C.
Angka Penemuan Penderita Baru
Selama tahun 2000
ditemukan 14.697 penderita baru. Diantaranya 11.267 tipe MB (76,7%) dan
1.499 penderita anak (10,1%). Selama
tahun 2001 dan 2002 ditemukan 14.061 dan 14.716 kasus baru. Diantara kasus ini
10.768 dan 11.132 penderita tipe MB (76,6% dan 75,5%). Sedangkan jumlah
penderita anak sebanyak 1.423 kasus (10,0%) pada tahun 2001 dan 1.305 kasus
(8,9%) pada tahun 2002.
Angka penemuan
penderita baru pada tahun 2000 adalah7,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada
tahun 2001 turun manjadi 6,91 dan naik pada tahun 2002 yaitu 7,05 per 100.000
penduduk. Di tingkat provinsi pada tahun 2001 angka penemuan tertinggi terdapat
di Provinsi Papua (49,65) dan terendah di Provinsi Lampung (0,50), sedangkan
pada tahun 2002 tertinggi di Provinsi Papua (39,55) dan terendah di Provinsi
Bengkulu (0,250). Cakupan penderita
dengan MDT 100%, sedangkan Puskesmas yang melaporkan penderita kusta
sebanyak 4900 dengan angka kesembuhan lebih dari 90%.
Di tingkat
propinsi, Jawa Timur paling banyak menemukan penderita baru yaitu 3.785 kasus
pada tahun 2001 dan 4.391 pada tahun 2002. Provinsi yang paling sedikit
menemukan kasus baru adalah Provinsi Bengkulu, yaitu 8 kasus pada tahun 2001
dan 4 kasus pada tahun 2002. Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah
rawan penyakit kusta. Jawa Timur termasuk di dalamnya.. Jawa Timur menyandang
beban sebagai daerah rawan bersama Irian Jaya bagian Barat, Papua, Jawa Tengah,
Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku
Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Yakarta (Depkes RI, 2005).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Penyakit Kusta adalah sebuah penyakit
infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang banyak menyerang kulit dan syaraf
·
Penyebab
penyakit kusta adalah kuman mycobacterium leprae
·
Cara penularan penyakit kusta para
ahli mengatakan bahwa penyakit Kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernafasan dan juga melalui kulit
·
Secara
umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5
tahun
·
Kusta diklasifikasikan berdasarkan
banyak faktor, hal tersebut bertujuan untuk mempermudah cara penanganan dari
penyakit kulit ini. Namun, pada umumnya Kusta terbagi menjadi dua, yakni kusta
pausibasilar (PB) atau kusta tipe kering dan kusta multibasilar (MB) atau kusta
tipe basah
·
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam,
tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit kusta tersebut, tetapi secara
umum tanda-tanda penyakit kusta yang terlihat, yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu
pada badan/tubuh manusia yang lama-lama semakin melebar dan banyak.
·
Diagnosis
pada penyakit kusta dilakukan dengan dasar pada tanda-tanda medis dan juga
gejala yang timbul pada penderita.
·
Patogenesis
dari penyakit kusta dapat meyebabkan kelumpuhan sistem imunitas selular dan menimbulkan
kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya
·
Epidemiologi Kusta, kusta menyebar luas
ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan
subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini bisa
menyerang di mana saja. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang
diperkirakan menderita kusta. India adalah negara
dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Dan
selanjutnya diikuti Indonesia.
·
Tujuan utama pencegahan dan penagulangan Kusta yaitu memutus mata rantai penularan
untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati, dan menyembuhkan penderita, serta
mencegah timbulnya cacat melalui deteksi atau penemuan dini kasus Kusta,
apabila ditemukan segera lakukan tatalaksana adekuat, salah satunya melalui
program MDT (Multi Drug Therapy).
·
Selain pengendalian Kusta melalui metode
pengobatan penderita, haruslah dilaksanakan upaya pengendalian lainnya berupa
metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial,
rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari
rehabilitasi.
B. Saran
Perlunya perhatian lebih oleh pemerintah terhadap kusta,
karena prevalensi kusta di Indonesia masih cukup tinggi
·
Untuk
menghidar penyakit kusta, mencegah kontak dengan kulit penderita
·
Hal yang Penting!! Segera lakukan pengobatan jika
merasa mengalami gejala-gejala penyakit kusta ini. Penyakit kusta dapat diobati
jika dideteksi lebih awal dan mendapat pengobatan secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Muhammad Dali. 2010. Penyakit Kusta di Indonesia: Masalah
dan Penanggulangannya. Penerbit: Blog Shvoong. Sumber: http://id.shvoong.com/health/penyakit-kusta-di-indonesia-masalah,
diakses pada tanggal 01 November 2011
Anonim. 2011. Penyakit Hansen. Penerbit: Wikipedia
Indonesia. Sumber: http://id.wikipedia.org/Kusta, diakses pada tanggal 04 Oktober 2011
Hidayat, Nanda. 2005. Kusta, Bukan Kutukan. Penerbit: Blog
Kantor Radio 68H. Sumber: http://radio68hlaput.blogspot.com/kusta-bukan-kutukan.html, diakses pada tanggal 03 November 2011
WHO. 2011. Leprosy Today. Penerbit: WHO. Sumber: http://www.who.int/lep/en/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011
WHO. 2011. Weekly Epidemiological Record. Penerbit: WHO. Sumber:
http://www.who.int/lep/en/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011
Yulianti, Lisda. 2001. Deteksi Dini Hindarkan Penderita Kusta dari Kecacatan. Penerbit: Pdpersi, Jakarta. Sumber: http://www.pdpersi.co.id, diakses pada tanggal 10 Oktober 2011
Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan
Masalah yang Ditimbulkannya. Penerbit: FKM USU. Sumber: http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf, diakses pada tanggal 04 Oktober 2011